GAJI, adalah salah satu hal yang paling sensitif dalam mengelola sebuah tim dalam bisnis – baik dalam rekrutmen, promosi dan evaluasi kinerja. Hal ini, tidak terkecuali, tetap penting dalam sebuah bisnis keluarga.
Perihal penghasilan kepada anggota keluarga yang terlibat dalam sebuah family-business adalah salah satu hal yang paling sering menimbulkan konflik terbuka, serta (bila parah) kepahitan yang terselubung.
Di bagian ketiga dari seri artikel Family-Business ini, saya akan mengupas 6 (enam) alasan yang paling sering menyebabkan konflik di antara pelaku bisnis keluarga. Dan dengan alasan-alasan yang saya akronim-kan sebagai INCOME ini, saya berharap Anda akan mendapatkan pencerahan mengenai bagaimana menghindari masalah-masalah tersebut.
Inconsistent Information
Kebijakan Penggajian dan Kompensasi yang tidak jelas. Ini adalah alasan nomor wahid yang menyebabkan konflik dalam penggajian dan/atau kompensasi di sebuah bisnis keluarga.
Tanpa kebijakan yang jelas, anggota-anggota keluarga yang terlibat akan menebak-nebak mengapa mereka (juga anggota keluarga lainnya) mendapat kompensasi seperti yang dialami saat ini. Dan hal ini akan menyebabkan gosip, dan gosip akan menyebabkan kehilangan fokus akan apa yang dibutuhkan dalam bisnis – yaitu produktivitas.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah Bapak Fidel (bukan nama sebenarnya), seorang pebisnis mempekerjakan ketiga anak dan mantunya dalam bisnis hospitality mereka di daerah Bali. Tidak ada hari-hari yang luput dari pertikaian di antara anak dan menantu beliau, karena menganggap ayah mereka tidak adil.
Gosip beredar bahwa sang ayah memperlakukan putri bungsu dan suaminya sebagai anak emas, dan akhirnya pertikaian adalah sebuah habit yang membuat perusahaan Bapak Fidel merosot secara revenue dan profit. Mengapa? Karena anak-anak dan menantu yang seharusnya membantu beliau sibuk bertikai daripada berkinerja.
Dari evaluasi yang kami lakukan, ternyata Bapak Fidel memang tidak memiliki kebijakan yang jelas, dan beliau menentukan besaran kompensasi (gaji dan fasilitas) berdasarkan rasa “bersalah” yang beliau miliki terhadap anak-anaknya itu.
Sebagai contoh: putri bungsunya mendapatkan kompensasi yang lebih besar daripada kedua kakaknya karena Bapak Fidel merasa bersalah akibat gagal menyekolahkan putrinya tersebut ke Inggris seperti yang dia inginkan, sementara kakak-kakaknya semua sudah mengecap studi di luar negeri.
Pertanyaan saya, apa yang akan Anda lakukan bila menjadi Bapak Fidel?
[callout]Dari beragam jawaban yang mungkin, saya percaya Bapak Fidel belajar sesuatu di sini: bahwa beliau tidak perlu membayar “hutang” kegagalan jangka pendek pada anak-nya dengan “cicilan jangka panjang” berupa kompensasi yang tidak sesuai. Dan bahwa beliau perlu memiliki kejelasan mengenai bagaimana beliau berasionalisasi mengenai kebijakan kompensasi yang beliau terapkan kepada para anak dan menantunya itu.[/callout]
Non-Objective Compensation Plan
Banyak family-business yang memiliki lebih dari satu calon penerus menghadapi masalah kedua ini. Izinkan saya mengupasnya melalui contoh.
Ibu Ika, pengusaha yang juga single-parent, memiliki dua orang putra yang bernama Louis and Leonard. Dalam bisnis garmentnya yang sudah merambah manca-negara, beliau mengangkat Bapak Louis menjadi direktur full-time sedangkan Bapak Leonard membantu menjadi secara part-time di area business development. Dengan kata lain, Bapak Leonard tidak penuh waktu membantu sang kakak dan ibu dalam berbisnis sementara sedang menempuh studi pasca-sarjananya.
Oleh sebab jabatannya, Bapak Louis memiliki hak untuk menentukan besaran kompensasi yang beliau dapatkan dalam operasional bisnis dan juga kompensasi adik semata wayangnya itu. Alasan beliau saat dievaluasi family-business-nya adalah: bahwa perusahaan ini tidak bisa berkembang sebagus ini bila beliau tidak membantu ibunya secara penuh waktu.
Di pihak lain, Bapak Leonard tidak sependapat dengan hal itu dan merasa bahwa bisnis itu berkembang karena sang ibu, dan bahwa apa yang dilakukan sang kakak menyebabkan dividen yang tercatat tidak riil, karena sang kakak menaikkan gaji dan bonusnya sebesar 300% disamping mobil operasional Land-Rover Evoque yang menurut sang adik “memangkas” pembukuan profit perusahaan itu.
Pertanyaan saya, apa yang akan Anda lakukan seandainya Anda adalah sang Ibu?
[callout]Ibu Ika mungkin tidak bisa berbuat banyak dalam usia senjanya yang lebih banyak dinikmati di rumah sakit; namun saya yakin beliau akan berharap menentukan dengan jelas dari awal: apa hak dari masing-masing putranya, berdasarkan dengan target pembuktian yang beliau komunikasikan dari awal.[/callout]
Corporate Image Fever
Banyak pemilik bisnis keluarga ingin keluarganya yang terlibat dalam bisnisnya menampilkan gambaran kehidupan sukses. Hal tersebut seringkali menyebabkan kebijakan kompensasi yang diberikan, baik itu gaji, tunjangan dan fasilitas, diberikan secara prematur dan “excessive”, tanpa melihat relevansi dari keadaan bisnis yang ada.
Misalnya, ada Bapak Sudin yang membelikan sebuah mobil Toyota Camry terbaru untuk putranya yang baru bergabung sebagai manager penjualan dalam bisnisnya. Dan mobil itu dibeli dengan anggaran perusahaan dan di minggu pertama putranya itu bergabung. Alasannya, beliau ingin agar putranya lebih disegani di kalangan manager-manager senior kantor dan juga para customer.
Sayangnya, sang putra hanya bertahan bekerja selama dua bulan , karena beliau lebih suka menekuni hobi otomotifnya sebagai bisnis. Dan lebih sayangnya, kebijakan Bapak Sudin menyebabkan pertanyaan besar di antara manager-manager yang telah membantunya berdekade-dekade: “apa yang anak itu lakukan untuk bisnis ini sehingga layak mendapatkan Camry di minggu pertama?”
Bila saya bertanya pada Anda, apa yang akan Anda lakukan bila Anda adalah sang ayah (Bapak Sudin), apa jawaban Anda?
[callout]Jujur, bila saya yang ditanyai hal itu, jawaban saya akan sangat subjektif karena saya lebih mudah menempatkan diri sebagai seorang pemilik bisnis daripada pemimpin bisnis. Namun, saya yakin, Bapak Sudin akan mendorong putranya itu untuk earn the respect dengan achievement-nya bila waktu bisa diputar kembali.[/callout]
Owning but Not Working
Tidak semua anggota keluarga pasti terlibat dalam perusahaan keluarga; namun pada umumnya banyak pemilik bisnis keluarga mengatakan kepada anak-anaknya bahwa “bisnis ayah, bisnis milik kalian semua”.
Dan hal ini cukup umum menjadi penyebab dari konflik dalam bisnis keluarga, khususnya berkaitan dengan kompensasi. Apalagi bila sang pemilik bisnis tidak membuat kejelasan besaran porsi saham anak yang satu dengan anak yang lain.
Sedangkan pada saat pembagian dividen, sang pemilik bisnis membaginya sesuai dengan pertimbangan subjektif yang dikelola di pikiran si pemilik bisnis itu sendiri. Kondisi dimana ada anggota keluarga yang tidak terlibat dalam bisnis namun turut memiliki bisnis membutuhkan hitam putih yang jelas dalam kejelasan hak dan porsi kepemilikan; atau bisa jadi perusahaan Anda akan mengalami apa yang dialami oleh keluarga dari Bapak Miko berikut ini:
Bapak Miko memiliki empat anak, dan beliau beserta istrinya adalah pasangan pebisnis yang family-oriented dan menganut prinsip bahwa anak-anak tidak perlu dipaksa membantu bisnis, namun perlu bebas mengeksplorasi minat dan bakat usaha mereka sendiri-sendiri.
Dari keempat anaknya, hanya seorang putri bungsunya, Karen, yang membantu dalam bisnis dan bertanggung jawab dalam bagian pemasaran dan penjualan. Ketiga saudara dari Ibu Karen masing-masing mendapatkan modal bisnis dari Bapak dan Ibu Miko, dan mengeksplorasi minat usaha sendiri-sendiri.
Yang menjadi permasalahan adalah: setiap akhir tahun di kala Bapak Miko membagi bonus kepada “para pemilik” bisnis, baik Ibu Karen maupun ketiga saudaranya memendam ketidakpuasan. Bukan karena bonus mereka terlalu kecil, namun karena sang ayah membaginya sama rata.
Ibu Karen merasa dia berhak mendapatkan lebih; dan demikian juga kakak-kakaknya yang merasa bahwa semakin senior mereka, mereka berhak mendapatkan lebih banyak proporsi bonus. Keluarga ini kerap bertengkar dan pada akhirnya Ibu Karen keluar dan mendirikan perusahaan kompetitor terhadap bisnis ayahnya.
Dan penyesalan saya akan keluarga itu adalah ini:
[callout]keluarga ini pecah dan tidak berbicara satu sama lain oleh sebab Bapak Miko mengabaikan bahwa “prinsip professionalisme antara ayah, anak dan saudara-saudara tidak bisa diterapkan dalam kompensasi bisnis keluarga”. Dan bahwa “equal compensation does not always mean equal love” – hitam putih, kejelasan tentang proporsi kepemilikan dan tanggung jawab perlu ada.[/callout]
Maybe Later
“Kamu suatu hari akan menggantikan papa, dan itu bonus yang sangat besar untukmu”, diujarkan oleh Bapak Burhan kepada putri tunggalnya yang membantunya dalam bisnis. Dalam pandangan putri tunggalnya itu, ia membutuhkan kompensasi yang lebih besar dari yang dia dapatkan sekarang – khususnya menimbang betapa ia sudah 100% berpartisipasi dalam bisnis metal ayahnya ini.
Kondisi di mana seorang anak yang dikader oleh sang ayah/ibu dalam bisnis keluarga dan tidak mendapatkan kompensasi yang besar terjadi di mana-mana. Pada umumnya, orangtua yang memiliki bisnis menganggap bahwa sang anak toh akan menggantikan mereka dalam bisnis dan memegang kendali yang besar “NANTI”.
Akan tetapi dari sudut pandang si anak, ‘nanti’ adalah ‘nanti’ dan ia membutuhkan today’s reward today.
Bila hal ini terjadi dalam bisnis Anda, apakah yang akan Anda lakukan?
[callout]Bila saya adalah Anda, saya akan memperlakukan anak saya seperti halnya saya memperlakukan tim saya: “menjual” visi untuk memompa kinerja dan loyalitas mereka dengan short-term winnings dan juga long-term winnings. Saya akan mainkan target-target dan kompensasi jangka pendek dan jangka panjang untuk memastikan mereka buy into my business vision. Anak Anda pasti mau berjalan 1000 km untuk mendapatkan bisnis Anda ‘nanti’, namun cara Anda mengelola harapannya dengan menunjukkan bahwa ‘1000 km’ itu semakin dekat – dengan menempatkan check-points di sepanjang perjalanan akan membantunya fokus pada tujuan.[/callout]
Equal Pay
Sebelumnya saya menuliskan “equal compensation does not mean equal love”. Dan poin terakhir ini akan jadi alasan penyebab konflik bilamana semua anggota keluarga (baca: anak) terlibat dalam bisnis Anda, dan digaji sama rata dengan fasilitas yang sama pula.
Anda mungkin berpikir bahwa orangtua yang baik tidak membeda-bedakan; namun prinsipnya berbeda dalam bisnis. Mengapa? Karena tidak semua anggota keluarga Anda akan menjadi high-achiever (baca: berprestasi) dan juga leader-materials (cakap memimpin).
Dan kesenjangan proporsi antara kinerja dan kompensasi adalah hal yang menyebabkan konflik baik di antara keluarga maupun tim yang non-keluarga.
Penutup
Saya menutup artikel ini dengan dua hal:
Pertama, kompensasi (dalam hal ini: gaji, bonus, fasilitas) dalam bisnis keluarga perlu memiliki set kriteria yang objektif, yang akan menghindarkan Anda dari grey area (area abu-abu) yang menyebabkan konflik internal keluarga.
Tujuan Anda dalam melibatkan anggota keluarga adalah untuk memperkuat baik keluarga maupun bisnis Anda itu, bukan? Bila ya, hindari masalah-masalah yang tidak perlu dengan membangun kriteria yang objektif dan selalu buat pembagian kepemilikan secara tertulis.
Kedua, saya mempelajari dari banyak keluarga-keluarga pebisnis yang saya kenal, bahwa “apa yang adil/fair di pikiran sang orangtua, belum tentu adil/fair di pikiran anak-anak dan tim”.
Tantangan saya untuk Anda adalah: komunikasikan standar fairness (keadilan) Anda sehingga anak dan tim Anda beradaptasi dengan itu; atau cari tahu apa kriteria fairness yang cocok untuk bisnis Anda.
INCOME matters dalam family business; dan Anda bisa mengelola hal tersebut dengan objektif dan sukses.
Selamat membangun bisnis Anda!