Membuat Strategi Penjualan yang Objektif

Apa tren strategi penjualan di 2019? Bagaimana cara membuat strategi penjualan yang objektif? Artikel ini mengupas cara praktisnya plus 9 pertanyaan penting untuk memulainya.

Share artikel ini, klik:

Membuat Strategi Penjualan yang Objektif

Banyak pengusaha yang bertanya di Desember 2018 lalu: “Coach, apa tren strategi penjualan tahun 2019 nanti?” Sebelum berdiskusi, biasanya saya bertanya: “Bagaimana penjualan Anda selama 2018?” dan jawaban para pengusaha tersebut umumnya: biasa saja, stagnan, menurun atau seret.

Bila Anda serupa dengan para pengusaha tersebut, bisa jadi Anda menjelaskan tentang kompetitor yang berperang harga, customer yang rewel, kesulitan barang, atau kualitas sales yang memasarkan produk/jasa Anda.

Tenang, saya tidak sedang menghakimi Anda – karena saya pun terkadang kebingungan menjelaskan mengapa penjualan saya di kurun waktu tertentu tidak seperti yang saya harapkan. Itu loh, masa-masa dimana Anda merasa tim dan Anda sedang bekerja keras, tetapi penghasilan perusahaan tidak selaras dengan energi dan keruwetan yang dialami.

Membuat Strategi Penjualan yang Objektif dimulai dari…

Untuk membuat strategi penjualan yang objektif, Anda perlu memahami arti objektif terlebih dahulu. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan objektif sebagai:

kemampuan Anda menilai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Dengan kata lain, bila cara Anda membuat strategi penjualan dipengaruhi oleh pendapat atau perasaan pribadi Anda, strategi tersebut tidaklah objektif. Padahal kata objektif sendiri sudah berarti “target” atau “sasaran”

Nah, mari saya ajak Anda melihat apa saja yang biasanya menghambat Anda dari menjadi “Sales Leaders” yang objektif.

Penghambat Strategi Penjualan yang Objektif

Ada tiga penghambat terbentuknya strategi penjualan yang objektif, dan ketiganya berakar dari pola pikir Anda sebagai pengusaha (atau terkadang merangkap sebagai sales manager bisnis Anda).

  1. Virus Kebutuhan akan Validasi Eksternal. Ini terjadi bila Anda membuat strategi penjualan untuk membuat orang lain mengagumi Anda dan berpikir Anda cerdas. Ciri-ciri bila Anda dihambat dengan virus ini adalah: Anda memakai (atau memaksakan) strategi penjualan yang belum waktunya digunakan. Dampaknya adalah tim sales Anda sibuk belajar strategi penjualan baru tersebut, dan kekurangan waktu untuk mengejar target yang sebenarnya.[callout]C.H. Cooley dan Han-Joachim Schubert dalam bukunya On Self and Business Organization mengatakan bahwa 62.2% eksekutif yang mereka survei mengakui bahwa keputusan-keputusan yang mereka buat seringkali terkait dengan apa yang mereka ingin orang lain pikirkan tentang strategi yang dibuat.[/callout]
  2. Virus Kompetisi. Virus klasik ini membuat Anda terus membandingkan strategi penjualan Anda dengan kompetitor, terlepas bilamana Anda sedang mengejar target market yang sama, memiliki sumber daya yang sama, atau tidak. Ciri-ciri bila Anda terjangkit virus ini adalah: Anda menghabiskan waktu untuk meneliti kompetitor dan apa yang mereka sedang lakukan, dan lupa memperhatikan apa yang customer/ prospek Anda inginkan.
  3. Virus Ketidakyakinan. Bila Anda bukan berasal dari keluarga pebisnis, virus ini paling berbahaya untuk Anda. Saat Anda tidak yakin akan keunggulan Anda, maupun tidak bernyali mempelajari kelemahan Anda di mata customer/prospek, Anda akan membuat strategi penjualan yang keliru. Anda akan membuat strategi penjualan yang bersifat “play not to lose” (agar tidak rugi) dibanding “play to win” (agar untung). Ciri-cirinya adalah: Anda setengah hati atau berlambat-lambat dalam menerapkan strategi penjualan Anda. Akhirnya tim, customer dan diri Anda bingung dengan strategi tersebut.

Jadi, apa cara membuat strategi penjualan yang objektif?

Beberapa pertanyaan praktis ini bisa membantu Anda berpijak kokoh dalam membuat strategi penjualan yang objektif di 2019. Selain jumlah omzet penjualan di 2018, apakah Anda tahu:

  1. jumlah customer yang membeli sepanjang 2018?
  2. jumlah customer baru di 2018?
  3. berapa rupiah rata-rata transaksi per customer di 2018?
  4. area mana yang paling banyak pertumbuhan customernya?
  5. apa sepuluh produk paling laris di 2018?
  6. berapa jumlah prospek yang digarap sales Anda di 2018? 
  7. berapa jumlah prospek yang dikunjungi, difollow up sales Anda per minggunya?
  8. berapa persen prospek tersebut yang berhasil diubah menjadi pembeli?
  9. berapa customer yang hilang di 2018?… 

Saya pikir Anda bisa menebak arah diskusi saya. Bila jawaban Anda tentang pertanyaan-pertanyaan di atas adalah: “ada datanya” (tapi Anda bingung menjelaskan karena sejujurnya belum pernah menelaah), Anda perlu melakukannya hari ini juga.

Seorang pengusaha muda yang saya coaching untuk bisnisnya bertemu dengan saya 18 Desember lalu. Beliau mengeluhkan hal-hal yang sama seperti yang kebanyakan pengusaha keluhan di kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Yang menarik adalah, ia teringat tentang pertanyaan #1, #2 dan #9.

Ia kemudian jadi bersemangat dan membuat target penjualan berdasarkan jumlah customer, bukan jumlah omzet. Ia ingin memperbesar basis jumlah customernya, dan percaya bahwa: “peningkatan jumlah customer memberikan kesempatan peningkatan jumlah pembelian per customernya” – melalui service excellence dan sales yang lebih proaktif.

Semangat penjualan yang objektif membuat pengusaha muda tersebut kembali menatap 2019 dengan lebih antusias. Mengapa? Karena ia tahu dasar pengharapannya adalah sesuatu yang realistis.

Apa gunanya strategi penjualan yang objektif?

Bukankah strategi penjualan itu harusnya agresif?

Pertama-tama, objektif bukanlah lawan dari agresif, bahkan objektivitas adalah persyaratan strategi agresif yang efektif. Bayangkan bila Anda tahu pasti titik terobosan (breakthrough) penjualan Anda karena Anda memahami realitas dari kesembilan pertanyaan di atas? Anda akan berani habis-habisan untuk menerobos dan menerapkan strategi penjualan Anda, bukan?

Kedua, Anda dan tim sales akan berjuang dalam hal-hal yang benar-benar berfungsiYou will fight for what really matters. Itu berarti Anda melatih tim Anda untuk menjadi tim penjualan yang berprestasi melalui KPI-KPI pencipta omzet:

  • tanggung jawab akan jumlah prospek yang digarap
  • tanggung jawab akan pertumbuhan jumlah customer
  • tanggung jawab akan pertumbuhan pembelian per customer
  • tanggung jawab akan skill penjualan dirinya

Penutup

Jadi, “Coach, apa tren strategi penjualan tahun 2019 nanti?”

Jawaban saya: akan ada dua jenis pengusaha di 2019.

Yang pertama akan menggunakan mindset yang lama dalam membuat strategi penjualan. Mereka akan membuat strategi yang terlihat canggih, demi mengalahkan kompetitor, tetapi akan mengakhiri 2019 dengan keluhan yang sama seperti di akhir 2018.

Pengusaha jenis kedua lebih sedikit jumlahnya, dan cenderung dianggap aneh oleh pengusaha lainnya. Mereka mungkin akan bertanya-tanya mengapa perlu memperhatikan kesembilan pertanyaan di artikel ide-bisnis.com ini, tetapi mereka tetap melakukannya. Mereka membangun customer-base yang kuat, dan menumbuhkan penjualan dari tiap-tiap customer melalui service-excellence dan sales yang proaktif.

Pada akhirnya, pengusaha jenis kedua ini mengalami sukses yang tidak dialami pengusaha kebanyakan, karena mereka bersedia melakukan hal-hal yang pengusaha kebanyakan tidak bersedia lakukan. Itu sebabnya E.M. Gray berkata:

[shareable]The successful person has the habit of doing the things failures don’t like to do. They don’t like doing them either necessarily. But their disliking is subordinated to the strength of their purpose.[/shareable]

[callout]Orang-orang sukses punya kebiasaan yang orang-orang gagal tidak suka melakukannya. Sebenarnya mereka juga tidak suka melakukannya, tapi ketidaksukaan mereka ditundukkan pada kekuatan tujuan mereka.[/callout]

And I believe…

Anda adalah pengusaha jenis kedua.

Selamat sukses di 2019.

Share artikel ini, klik: