Prang! Gelas kesayangan Septian pun pecah dibantingnya sendiri.
Kurang ajar si Markus dan Pram yang menyudutkannya di meeting marketing siang tadi.
Septian memutar ulang kejadian di ruangan big boss, Pak Lesmana, dimana ia bertubi-tubi disalahkan untuk kekeliruan marketing campaign yang memakan biaya ratusan juta, tapi hanya sedikit prospek yang merespon.
Sialnya, Markus dan Pram yang notabene adalah bawahannya, malahan mengatakan bahwa mereka berdua sudah memberikan heads up warning – bahwa strategi marketing itu kurang tepat.
Mereka sekedar membeo tuduhan Pak Lesmana, yang lagi stress akan turunnya penjualan di tiga bulan terakhir. Membeo ucapan Pak Lesmana seakan menjamin mereka tak kasat mata dalam masalah yang dialami departemen marketing.
Kenyataannya, justru Markus yang memperkenalkan agency marketing yang dipakainya, dan Pram yang meyakinkannya bahwa campaign itu akan tepat sasaran.
Benar-benar kurang ajar!
Sore itu, Septian benar-benar gundah. Betapa tidak, nama baiknya tercoreng di depan sang boss. Ia ingin memarahi dua bawahannya, tapi susah juga. Lebih tepatnya, ia tidak punya waktu memarahi, karena Pak Lesmana ingin secepat mungkin ada marketing campaign baru tanpa keluar dana lagi, atau ia disuruh mengundurkan diri.
REPUTASI ITU …
Septian menuju ke pantry, berpikir secangkir espresso bisa mengaktifkan adrenalin yang akan somehow menjernihkan otaknya dari kemelut. Jarinya luwes menekan tombol mesin kopi yang baru dibeli Ci Joan bagian purchasing di pantry, saat notifikasi whatsapp-nya mengusik suara mesin yang sedang menyiapkan secangkir kopi untuknya.
Patricia… nama pengirimnya. Isi whatsapp-nya: Your reputation is what others think of you; your character is what you truly are: Bohdi Sanders
[shareable cite=”Bohdi Sanders”]Your reputation is what others think of you; your character is what you truly are[/shareable]
Ah, ia mengingat Ibu Patricia yang sering mengirimkan majalah Managers’ Scope yang jarang dibacanya.
“Buat apa sih majalah seperti itu, mana sempat aku membacanya” – ia pernah mengeluhkan suatu waktu.
Tapi entah kenapa, sore itu broadcast dari Ibu Patricia means something… a lot. Apalagi ia baru merasa nama baiknya dikorbankan dan ia tidak punya waktu untuk membelanya.
Septian bergegas kembali ke ruangannya sambil membawa cangkir espresso yang lupa diberikan gula, dan mencari sesuatu di tumpukan surat-surat yang menggunung di mejanya.
Nah, ini dia. Majalah Managers’ Scope yang terkini.
Dia membuka amplop dan plastiknya, dan mulai scanning judul-judul yang ada. Dan seolah Surga berkonspirasi untuk menghiburnya, ada satu artikel yang berjudul “Menjaga Nama Baik: Karena Anda tidak perlu Kegagalan Besar untuk Merusaknya”.
Septian pun mulai membacanya. Sesekali ia masih mengecek notif-notif whatsapp atau email yang masuk, sampai akhirnya – entah mengapa – ia memasukkan Samsung Galaxy S10+ nya ke dalam laci setelah ia terlebih dahulu membisukan nada deringnya.
Matanya menajam saat membaca tiga hal buruk yang menyebabkan eksekutif gagal menjaga nama baik. Bayangkan, masak artikel itu berkata bahwa:
Terlalu banyak bicara itu merusak nama baik.
Nama baik tidak dijaga dengan kita mempromosikan diri kita terlalu banyak, termasuk tentang prestasi-prestasi kita. Apa yang kita dengung-dengungkan tentang diri kita, malahan mengundang orang lain untuk mencari bukti bilamana klaim kita itu makbul atau malah bohong-bohongan. Dan “semakin sering kita bicara, semakin orang tahu kita berbohong serta semakin kita lupa bahwa kita berbohong”.
Septian menyeruput espresso yang kepahitan itu, sembari mengingat bahwa ia memang sudah kebiasaan membesar-besarkan saat bicara. Bila ia baru bertemu seorang prospek untuk pertama kali dan belum masuk tahapan negosiasi, ia terbiasa bercerita pada tim dan Pak Lesmana bahwa prospek tersebut sudah “sangat tertarik dan akan membeli banyak dari mereka”.
Jarinya membalik halaman berikutnya dan membaca hal buruk kedua yang merusak nama baik:
Tidak menindaklanjuti janji juga merusak nama baik.
Berapa sering seseorang berkata bahwa mereka akan menghubungi Anda atau membalas email yang Anda kirim, tapi tidak pernah dilakukan sama sekali? Mungkin kita berpiikir bahwa kebanyakan orang cenderung memaklumi hal tersebut – setiap kita kan sibuk – tapi pada akhirnya Anda akan membangun reputasi sebagai orang yang tidak bisa diandalkan. Orang yang omdo – omong doing.
Ah, sontoloyo juga nih penulisnya, bisik Septian dalam hati. Tapi ia juga tersenyum simpul. Ia memang sering begitu, termasuk ke customer. Dan Pram adalah orang yang paling sering direpotkannya untuk komunikasi dengan customer yang marah karena ia lupa follow up. Jangan tanya lagi bagaimana ia menindaklanjuti janjinya kepada timnya.
Penasaran dengan hal ketiga, ia pun membalikkan halaman dan menemukan:
Blame Game adalah perusak nama baik pamungkas.
Hati-hati dengan permainan ini. Seringkali kita menyalahkan pihak lain untuk menyelamatkan diri dari kesalahan yang kita buat. Membujuk pihak yang sudah kita perlakukan tidak adil dalam sebuah blame game tidak akan berfungsi di saat mereka merasa Anda sudah kelewatan. Dr Sam Chand menuliskan “bila orang-orang kepercayaan Anda tahu bahwa Anda tidak akan mengkhianati mereka untuk nama baik Anda, mereka akan menjaga nama baik Anda di mana pun”.
Di sinilah Septian menutup majalah Managers Scope itu. Ia tampak sangat gusar. Diambilnya smartphone lalu mengetik sesuatu.
Tampak buru-buru sekali, Septian merapikan laptop dan beberapa dokumen ke dalam tas Tuminya lalu meninggalkan kantor.
KOPI KENANGAN…
Jam 19.20 WIB di Grand Indonesia, di Kopi Kenangan, Septian kembali meneguk es kopi yang baru dipesannya itu.
Dari kejauhan tampak dua pria berlari-lari kecil ke arah meja di mana Septian duduk. Mereka bertiga tampak cemas: ya Septian, ya kedua pria itu.
Tapi Septian membuka suaranya saat mereka sudah duduk bersama:
“Saya minta maaf. No excuse. Saya minta maaf”.
Singkatnya Septian benar-benar melihat bayangan ketumanannya dalam memperlakukan Markus dan Pramono, apalagi saat membaca hal buruk ketiga yang merusak nama baik seorang pemimpin.
Ia memang sering menyalahkan Markus dan Pramono untuk hal-hal yang sebenarnya ia yang paksakan, tidak jarang juga di depan orang lain. Akan tetapi karena ia memang kawakan dalam berkata-kata, Markus dan Pramono baru sadar mereka menjadi kambing hitam saat sudah keluar dari ruang meeting pada umumnya.
Malam itu Septian mewujudkan dua tekadnya.
Ia meminta maaf tanpa membuat alasan. Dan ia meminta bantuan dari Markus dan Pramono untuk proyek yang cukup mission imposible dari Pak Lesmana tadi siang.
Herannya, Surga tampak sekali berkonspirasi untuk kebaikannya. Markus dan Pramono malah benar-benar antusias membantunya.
Fast forward ke jam 23.00 di hari yang sama…
Septian mengirimkan sebuah gambar via whatsapp. Si penerima membaca dengan tersenyum: “Your reputation is what others think of you; your character is what you truly are. Thank you for sending me this reminder. You have saved my career and leadership”
Patricia pun menarik selimutnya bersiap tidur sambil tersenyum sepakat akan ucapan sang penulis artikel tersebut: “everybody wins when a leader gets better”.
[shareable]everybody wins when a leader gets better[/shareable]
Selamat menjaga nama baik.
Follow us on Instagram