Lika-liku proses hukum yang dialami oleh Acho dan Apartemen Green Pramuka menyisakan beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah mengapa seorang customer sampai menuliskan keluhannya secara online?
Janelle Barlow (2008), President dari All Out Performance membantu kita memahami tiga tahapan yang mendorong customer yang kecewa untuk menyuarakan keluhannya kepada publik.
#1 Customer Menyuarakan Keluhan kepada Perusahaan
Di tahapan pertama ini, customer menyuarakan keluhannya pada perusahaan. Customer umumnya mengeluh pada tim marketing/sales yang menjual produk/jasa itu padanya. Customer bisa juga menyuarakan kekecewaannya dengan datang ke toko atau customer service perusahaan.
Sebenarnya tahapan ini adalah tahap yang paling bermanfaat bagi perusahaan, bila perusahaan melihat komplain/ keluhan sebagai kesempatan yang diberikan customer untuk perusahaan kembali memenangkan hati dan minat mereka. Apalagi dalam tahap ini, biasanya customer tidak menceritakan pengalaman buruknya dalam membeli atau menggunakan produk/ jasa perusahaan pada orang-orang yang dikenalnya. Sekali lagi, di tahap ini, customer hanya ingin langkah perbaikan dari perusahaan.
Baca juga: Mengapa Saya Mengingat Cilandak Town Square hari ini?
#2 Customer Menyuarakan Keluhan pada Orang Lain yang Dikenalnya
Di tahapan ini, customer menganggap tidak ada gunanya menyampaikan keluhan pada perusahaan. Entah karena:
- prosesnya (dibuat) berbelit-belit,
- tim yang menerima komplain tidak kompeten,
- tidak menerima tanggapan,
- tidak tahu harus komplain ke mana,
- kepribadian customer yang introvert,
- dan banyak penyebab lainnya.
Tim yang tidak kompeten dalam menangani komplain/ keluhan pelanggan umumnya melakukan hal-hal ini:
- hanya meminta maaf,
- mengatakan tidak ada yang bisa ia usahakan
- menyalahkan customer,
- memberi janji palsu tentang perbaikan,
- perlakuan yang kasar secara verbal atau bahasa tubuh, atau
- memperlakukan customer seperti penjahat, misalnya menginterogasi atau melaporkan keluhan sebagai pencemaran nama baik.
Yang pasti tahapan ini berbahaya bagi sebuah bisnis, termasuk bisnis yang Anda dan saya miliki. Kita bisa kehilangan customer yang masih berpotensi membeli atau mereferensikan produk/jasa kita pada lingkaran kenalannya. Dan kita juga kehilangan kesempatan untuk memahami kelemahan produk/jasa kita langsung dari orang-orang yang menggunakannya – yakni, dari customer kita.
#3 Customer Menyuarakan Keluhannya kepada Publik
Respon dari perusahaan terhadap komplain bisa membuat customer menjadi seorang aktivis – mengeluh kepada publik. Respon (perwakilan) perusahaan yang kasar, cuek dan berlarut-larut tanpa penyelesaian (apalagi bila produk/jasa semakin buruk) mengubah motivasi customer dari: membela haknya menjadi membela hak sesama.
Di tahapan ini, customer berani mengambil resiko besar untuk memastikan (calon) customer lainnya – walau ia tidak kenal – tidak mengalami apa yang ia alami. Sisi manusiawi customer mendorongnya untuk memberikan informasi terkait pengalaman buruk yang dialaminya kepada manusia lain.
Ini mungkin yang dialami oleh Acho dan customer-customer (produk/jasa) lain yang akhirnya menyuarakan keluhannya ke publik, baik melalui sosial media (seperti Gerakan Koin Peduli Prita di 2009), Suara Pembaca di surat kabar, tulisan di blog seperti Acho, atau media-media lainnya.
Jadi apa yang sebenarnya customer inginkan saat komplain?
Sebagai pemilik bisnis, kita perlu memahami apa yang sebenarnya customer inginkan saat mereka memberikan komplain. Berikut adalah beberapa hal yang biasanya diinginkan customer saat menyuarakan keluhan:
- Kompensasi harga atau bahkan digratiskan, bila memungkinkan.
- Permintaan maaf yang tulus, misalnya saat pimpinan perusahaan secara langsung meminta maaf.
- Produk atau hadiah gratis
- Kepastian bahwa sesuatu telah diperbaiki dalam perusahaan untuk mencegah pengalaman buruk yang dikomplain terjadi kembali di masa depan.
Bila Anda dan saya perhatikan, hal-hal yang diinginkan customer pada dasarnya sesuatu yang masih bisa dikelola oleh perusahaan. Memang ada sebagian kecil customer yang memang “curang” atau sengaja mencari-cari masalah dengan perusahaan, namun persentasenya sangat kecil (di bawah 2%).
Yang jadi tantangan bagi business owners seperti Anda dan saya adalah perspektif kita dalam memandang komplain. Apakah kita melihatnya sebagai sebuah ancaman, ataukah kita melihatnya sebagai petunjuk gratis untuk memperbaiki area tertentu dalam bisnis kita?
Saya berharap Anda memilih melihat komplain sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh customer untuk memperbaiki keadaan. Dan siapa tahu, bisnis Anda malah mendapat positive word-of-mouth saat customer membagikan bagaimana profesionalnya perusahaan Anda saat menangani komplain.
Talk-It Over
- Kemampuan tim Anda dalam menangani komplain pelanggan, menjadi salah satu penentu apakah komplain terselesaikan dalam perusahaan atau keluar sampai ke publik. Apakah Anda pernah mengecek secara diam-diam bagaimana tim Anda merespon pada keluhan pelanggan?
- Beberapa perusahaan membuka layanan khusus keluhan pelanggan untuk menyalurkan komplain dengan baik. Bila Anda belum memilikinya, seberapa mungkin Anda melakukan hal tersebut dalam bisnis Anda? Bila Anda telah memilikinya, bagaimana kinerja layanan tersebut dalam melayani keluhan pelanggan?
Artikel ini disarikan dari materi Leaders Breakfast Meeting dari Coach Danny yang diadakan pada Maret 2017. *UPDATED*