“Kita semua bersaudara”
Spanduk itu tersebar di mana-mana, khususnya bila situasi masyarakat tengah bergejolak. Misalnya saat Basuki Tjahaja Purnama diproses untuk kasus penistaan agama. Atau di masa-masa setelah Pilpres 2019 ini, kala kedua kubu yang berbulan-bulan bertanding sedang harap-harap cemas tentang hasilnya.
Dalam bisnis pun, para board members bisa mengingatkan kita sebagai para executives yang dipercaya mengelola unit bisnis mereka bahwa kita masih dalam satu keluarga besar di holding company yang sama, misalnya.
Namun, saya berargumen bahwa slogan itu keliru untuk dua hal.
Pertama, karena setiap kita pasti mengalami bahwa “ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara”. Referensi psikologis setiap orang tentang keluarga dan persaudaraan itu berbeda-beda. Bisa jadi seseorang memiliki referensi yang buruk bahwa saudaranya hanya muncul saat perlu pinjaman uang, atau saudara yang troublemaker. Dalam kondisi demikian slogan “kita semua bersaudara” malah meningkatkan antipati yang berlawanan dengan tujuan slogan dan spanduk itu.
[shareable cite=”Coach Danny”]Bisa jadi seseorang memiliki referensi yang buruk bahwa saudaranya hanya muncul saat perlu pinjaman uang, atau saudara yang troublemaker. Dalam kondisi demikian slogan “kita semua bersaudara” malah meningkatkan antipati yang berlawanan dengan tujuan slogan dan spanduk itu.[/shareable]
Dr John C Maxwell: 5 Levels of Leadership
Kedua, slogan “kita semua bersaudara” juga keliru karena menurut Dr John C Maxwell, dalam the 5 Levels of Leadership, terkait teamwork dan leadership –
“Many people get the wrong idea about the concept of leadership. Some think that succeeding in leadership means treating people on their team like family. That is almost always a mistake. People don’t deal realistically with their family. …. What makes a family great isn’t what make a team great.”
(Maxwell 2011:111)
Saya menggunakan direct quote karena banyak orang yang sangsi bahwa Dr John C Maxwell mengatakan bahwa kita tidak cocok menggunakan prinsip kekeluargaan dalam bisnis.
Benang Perdamaian
Dalam upaya kita menjalin kembali sinergi dalam grup bisnis, atau dalam kondisi apa pun, apa yang bisa kita lakukan? Banyak hal yang bisa kita kerjakan, akan tetapi tiga utas benang perdamaian ini adalah favorit saya. Anda akan bisa melihat benang merahnya nanti.
1 BENANG REKONSILIASI
Rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula (definisi KBBI). Akan tetapi rekonsiliasi perlu memperhatikan dua hal berikut ini bila mau efektif.
Pertama, masing-masing pihak bersedia untuk melakukan rekonsiliasi tanpa merencanakan keuntungan pribadi minimal. Maksud saya, lakukan rekonsiliasi tanpa pamrih. Rekonsiliasi biasanya gagal karena pihak yang mengajak rekonsiliasi hanya bermaksud “menggunakan rekonsiliasi” untuk menjamin kemenangan mutlaknya.
Kedua, masing-masing pihak bersedia mencari solusi hanya setelah rekonsiliasi terjadi. Saat hubungan sudah pulih, maka barulah para pihak melihat sebuah masalah dari sudut pandang dan kualitas moral yang sama.
2 BENANG KEADILAN
Juni 2016 saya pernah menulis tentang pentingnya Organizational Justice dalam group besar. Organizational justice berbicara tentang hadirnya integritas dalam tata kelola perusahaan. Memiliki organizational justice yang diterapkan dalam sebuah perusahaan akan memampukan para pemimpin dan sistem birokrasi perusahaan bersinergi secara riil.
Salah satu cara paling efektif untuk merajut sinergi dengan benang keadilan ini adalah dengan tiga cara.
Cara pertama, miliki budaya perusahaan yang tertulis dan dilatih secara berkala. Saat senior manajemen mengajarkan budaya perusahaan ini melalui teladan, peningkatan kualitas organizational justice akan drastis. Salah seorang klien saya melakukan kompetisi cara mengkomunikasikan budaya perusahaan, dan saat ini beliau memiliki berbagai cara efektif – dan kreatif – untuk membuat tim dan dirinya ingat untuk menghidupi budaya perusahaan itu.
[shareable cite=”Coach Danny”]Dalam setiap konflik yang berkepanjangan, setiap perang dingin yang terjadi antar departemen atau unit bisnis, biasanya akan Anda temukan seseorang atau sekelompok penghasut. Orang-orang itu umumnya tidak berkinerja tinggi, dan hanya mengail kesempatan dari konflik yang terjadi.[/shareable]
Cara kedua, miliki sistem resolusi konflik yang berasal dari budaya perusahaan itu secara holistik. Dengan kata lain, jangan eksploitasi butir budaya perusahaan yang hanya menguntungkan satu pihak, sementara mengabaikan butir-butir budaya perusahaan lainnya. Senafas dengan bagian pembuka, jangan hanya ingatkan “bahwa kita semua bersaudara” dan tentang “Bhinneka Tunggal Ika” dan abai akan butir-butir lainnya.
Cara ketiga, sekali lagi, teladan dari senior manajemen sangat membantu. Bila Anda suka membaca fabel atau dongeng, saat raja konsisten menghukum anaknya dengan hukum yang sama yang diterapkan pada rakyatnya, di saat itulah sinergi bisa riil dibangun. Rakyat yang lain paham dan percaya bahwa sang raja memegang ucapannya (baca: berintegritas).
PUTUSKAN BENANG PENGHASUT
Dalam setiap konflik yang berkepanjangan, setiap perang dingin yang terjadi antar departemen atau unit bisnis, biasanya akan Anda temukan seseorang atau sekelompok penghasut. Orang-orang itu umumnya tidak berkinerja tinggi, dan hanya mengail kesempatan dari konflik yang terjadi.
Dalam tulisan saya di Juni 2014 di Managers Scope, Fighting Fair: The Art of Conflict Management, saya menulis bahwa saat konflik masih kecil, individu yang berkonflik memperarah situasi dengan berbicara dengan orang yang keliru. Mengapa? Karena orang yang keliru akan mengkapitalisasi atas konflik yang terjadi untuk kepentingannya sendiri.
Anda bisa sebut itu sebagai penggosip, tapi saya menyebabnya penghasut. Refly Harun, pakar Tata Negara, misalnya menarik kesimpulan tentang konflik berkepanjangan di tanah air: “Rekonsiliasi itu bisa terjadi kalau kita tidak saling hina dan saling ejek. Di medsos ini masih bnyk yg begitu itu. Pastinya melibatkan mrk yg terdidik. Kenapa ya?” (April 21, 2019. @reflyHZ).
[shareable cite=”Refly Harun”]Rekonsiliasi itu bisa terjadi kalau kita tidak saling hina dan saling ejek. Di medsos ini masih bnyk yg begitu itu. Pastinya melibatkan mrk yg terdidik. Kenapa ya?[/shareable]
Coba kita bayangkan sejenak. Kita mau berdamai, tapi diejek dan dihina oleh “orang keliru” yang berada di pihak lawan. Apakah mudah untuk melakukan rekonsiliasi?
Tentunya tidak.
Oleh sebab itu, sebagai seorang pemimpin, Anda perlu bisa mengenali siapa saja penghasut itu, dan putuskan pengaruhnya.
Penutup
Sinergi dan rekonsilasi adalah jalan dua arah. It is a two-way street. It takes two to dance this tango.
Menuntut keadilan tanpa mau melakukan rekonsiliasi adalah sia-sia. Diperlukan keberanian untuk memaafkan. Mahatma Gandhi berkata bahwa the weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.
Demikian pula, meminta satu pihak untuk sekedar menerima rekonsiliasi tanpa adanya kepastikan akan benang keadilan dan putusnya benang penghasut tidak akan berhasil. Karena permintaan maaf yang terbaik adalah perubahan perilaku, bukan ucapan dan seremonial.
Selamat merajut sinergi!
[callout]Artikel ini ditulis oleh Coach Danny Wira Dharma dan dimuat dalam Managers’ Scope edisi April 2019[/callout]