Senin ‘itu’ adalah hari yang menyulitkan – bukan karena I hate Monday, namun karena saat itu saya perlu melepaskan seorang dari manager saya keluar dari tim kami.
Bapak Wahyu (bukan nama sebenarnya) perlu diberhentikan saat itu. Dalam dua tahun terakhir ini, sifat dan etika bekerja, serta kinerjanya terus menurun. Namun ia tidak menunjukkan keinginan untuk memperbaiki area yang menjadi kelemahannya. Bahkan sikap arogansi terhadap timnya dan terhadap beberapa direktur memaksa saya untuk bertindak.
Dia adalah salah seorang manager kami di bidang corporate sales training dan sebenarnya sangat berprestasi di tahun pertamanya di kantor kami. Dan itulah yang membuat saya bingung mengapa dia berubah menjadi seseorang yang harus masuk ke daftar orang yang perlu saya keluarkan.
Saya tentunya kuatir saat Senin itu:
- bagaimana dengan para klien yang ditanganinya?
- bagaimana dengan tim yang cocok bekerja dengan dia?
- apakah itu bisa menjadi alasan untuk saya mencoba membina dia kembali?
Namun no turning back! Para direktur sudah sepakat dan saya yang didaulat untuk melakukan ini. Senin pagi itu saya datang ke kantor lebih dini, berdoa lalu mempersiapkan apa yang perlu saya katakan beserta dokumen-dokumen penyelesaian.
[callout]Tentang doa: saya tidak mudah memberhentikan seseorang. Orang yang berkata memecat orang itu mudah untuk dilakukan bisa jadi belum pernah memecat orang atau seorang sosiopat. Bayangan kestabilan seseorang yang direnggut oleh keputusan saya itu sangat mengganggu, terlepas dari besarnya pesangon yang diberikan. Itu sebabnya saya perlu berdoa meminta pertolongan Tuhan.[/callout]
Dan hari itu adalah hari terakhir Bapak Wahyu di perusahaan kami. Dan saya tidak tahu mengapa setelah kehilangan seorang manager, kinerja departemen corporate sales training justru meningkat.
Masalah dimulai saat…
Bapak Wahyu adalah kandidat manager yang hebat. Tahun 2009 kami mulai memikirkan perlunya memiliki departemen yang menangani order dari training-training perusahaan, dan mulailah kami mencari kandidat-kandidat yang cocok – dari referensi teman, iklan di online job ads, sampai menggunakan jasa headhunter.
Dan kami tidak mendapatkan kandidat yang cocok selama hampir setahun, dan kami benci melihat banyaknya prospek order training perusahaan yang tidak terlayani karena kami gagal merekrut seorang corporate sales training manager ini.
Di tengah kekecewaan kami, muncullah seorang kandidat dengan resume yang berkilauan. S2 dari luar negeri, sertifikasi yang beragam, pengalaman kerja di perusahaan-perusahaan besar dan dia memiliki chemistry yang baik dengan kami yang meng-interviewnya.
Short story goes… Bapak Wahyu kami rekrut dan berkilau di tahun pertamanya, kemudian makin redup, makin redup yang saya bagikan di pembukaan tulisan ini.
Saat Anda membeli seorang manager
Pengalaman kami dengan Bapak Wahyu mungkin dialami oleh Anda yang membaca tulisan ini. Mungkin ada di antara Anda yang bisa mengingat siapa-siapa saja yang Anda keluarkan karena tidak perform. Atau mungkin ada di antara Anda yang membayangkan seseorang dan bertanya-tanya mengapa sampai saat ini Anda tidak melakukan apa-apa terhadap dia padahal kinerjanya benar-benar membuat Anda sakit kepala.
Well, ini adalah prinsip dari Buying Your Executive.
Saat kita merekrut seseorang, sebenarnya kita sedang ‘membeli’ orang itu. Dan fakta mengenai membeli adalah: Anda dan saya membeli dengan 80% emosi, kemudian kita merasionalkan keputusan kita dengan 20% logika.
[shareable]Fakta mengenai membeli adalah: kita membeli dengan 80% emosi, lalu merasionalkan keputusan kita dengan 20% logika.[/shareable]
Hal itu sama persis saat kita merekrut manager atau ‘buying our executive’, emosi kita sulit disangkal berperan terhadap penilaian kita terhadap potensinya. Itu sebabnya seseorang yang nampak secemerlang “lampu LED” di interview pun, bisa jadi ternyata mengandalkan “petromaks” saat bekerja.
Banyak faktor yang mempengaruhi cara kita membeli bukan?
Faktor urgency misalnya: bila Anda sudah tertinggal deadline atau target jauh seperti saya, maka kandidat seperti Bapak Wahyu jadi cemerlang. Atau juga faktor kepribadian: bila Anda adalah orang yang dominan dan kandidat menampilkan diri yang submissive dan supportive, bisa jadi Anda merasa cocok dan kemudian ‘membeli’ prospek ini.
Begitu banyak hal dalam diri kita yang menyebabkan kita membeli hal-hal yang kita tidak perlukan, termasuk pembelian anggota tim di perusahaan. Itu sebabnya Anais Nin menuliskan:
[shareable]We don’t see people as they are; we see them as we are.[/shareable]
6 hal yang perlu jadi pertimbangan Anda sebelum merekrut seorang manager
Di bawah ini, saya paparkan enam hal yang mungkin Anda mau pertimbangkan saat mau ‘membeli’ tim Anda, khususnya para eksekutif/ manager:
Pertama, jangan pernah merekrut seseorang sendirian dan dengan satu interview saja.
Saya adalah interviewer yang buruk karena saya suka mengajar dan suka orang. Jadi bila saya menginterview kandidat-kandidat, saya akan sibuk menjelaskan mengenai hebatnya perusahaan dan training-training kami dan kandidat yang tampak ‘kagum’ sudah pasti menjual dengan sangat baik kepada saya. Jadi setiap kali interview, saya pastikan ada seseorang lain yang bertanya dan saya yang memperhatikan. Dan kami selalu targetkan interview hanya 30 menit karena akan ada interview-interview lainnya.
Kedua, cari dari dalam.
Jim Collins (2001) menemukan bahwa 10 dari 11 perusahaan-perusahaan yang Good to Great membangun eksekutif-eksekutif dari dalam perusahaan (dan yang gagal good to great mencoba membeli eksekutif-eksekutif enam kali lebih sering dari luar).
Saat tim kita stagnan di tugas tertentu belum tentu dia tidak bisa melejit di tugas lainnya. Kami mencoba memindahkan Bapak Wahyu ke departemen lain namun tidak banyak perubahan; namun lain halnya dengan tim kami lainnya yang berhasil melejit setelah pindah departemen.
Bila Anda belum pernah mencoba, bukalah lowongan di perusahaan sendiri dan lihatlah bagaimana Anda akan terkejut dengan momentum yang terjadi setelah itu.
[shareable]When the grass looks greener on the other side, your side too can be green – just water them.[/shareable]
Ketiga, gunakan alat untuk menguji kandidat.
Apa yang perlu kita uji? Untuk tingkatan eksekutif, IQ bagi saya bukan penentu kesuksesan. Kemampuan seseorang untuk mengembangkan diri dan membangun relasi yang sebenarnya penting.
Untuk hal itu, Anda bisa mengandalkan DISC Personality Profile yang didasari dari karya William Marston dan/atau Strength Finder 2.0 dari Gallup. Tes-tes tersebut akan membantu baik Anda, kandidat dan juga orang yang akan berelasi dengan kandidat mengenai bagaimana berkomunikasi dan bekerja bersamanya.
Keempat, benar-benar telepon referensi dari kandidat Anda.
Nah, seberapa sering Anda pernah melakukan ini? Mungkin jarang, seperti kebanyakan pebisnis lainnya juga jarang melakukannya. Namun, saya menyarankan Anda tetap melakukannya untuk dua alasan.
Pertama, saat Anda meminta nomor telepon boss sang kandidat yang sebelumnya, raut wajah kaget, marah, atau takut akan terlihat saat kandidat berusaha menyembunyikan sesuatu di karir sebelumnya. Kemudian, Anda juga akan dapat gambaran yang jelas mengenai kinerja kandidat ini dari ‘pembeli’ sebelumnya. (Well, Anda tidak perlu menjelaskan bahwa Anda dari perusahaan mana dengan spesifik, namun intinya Anda perlu mengecek referensi.)
Kelima, interview bersama dengan pasangan hidupnya (suami atau istri).
‘Membeli’ seseorang manager menjadi bagian tim kita adalah keputusan yang besar. Dan bagian dari keputusan besar itu adalah keluarganya juga menjadi bagian dari tim kita secara tidak langsung.
Keputusan-keputusan dari kandidat bisa jadi dipengaruhi oleh keluarganya, atau lebih sering oleh pasangan hidupnya. Melakukan interview informal bersama kandidat dengan suami/istrinya akan membantu Anda melihat siapa yang mendominasi keputusan sebenarnya.
Anda bisa melakukan ini dengan pertemuan di coffee shop atau dalam makan malam informal. Hal ini akan sangat membantu Anda menghindari kandidat unggul yang ternyata menikah dengan orang yang akan menghalangi dia untuk cemerlang.
Keenam, ubah mindset Anda: temukan alasan untuk TIDAK merekrut.
Sebagai orang yang menyukai orang, mindset ini sangat membantu saya untuk bersifat objektif dalam merekrut. Saat kami menginterview seseorang, tujuannya adalah untuk menemukan apakah orang ini memiliki sesuatu yang dapat membuat kami tidak dapat merekrutnya.
Well, saya pikir turn over yang tinggi dalam interview jauh lebih baik dari pada turn over yang tinggi setelah orang itu direkrut bukan?
Talk-It Over
Tim yang cemerlang akan membuat Anda berani mengeksplorasi ide-ide brilian. Namun semuanya itu dimulai saat Anda melakukan proses rekrutmen. Dengan perspektif bahwa kita melakukan prinsip pembelian saat merekrut, saya berharap enam usulan dalam tulisan ini membantu Anda membeli tim dengan logika dan emosi yang seimbang.
Selamat merekrut!
Artikel Rekomendasi dari Coach
[callout]Artikel ini diadaptasi dari Buying Your Executive, yang ditulis oleh Coach Danny Wira Dharma untuk Majalah Managers Scope edisi April 2014.[/callout]