Beberapa bulan lalu, seorang pemimpin bisnis menemui saya untuk mendiskusikan beberapa masalah yang ia hadapi dalam pekerjaan. Seperti biasanya, saya mulai dengan beberapa pertanyaan, mencoba memahami konteks masalah yang sedang dibicarakan.
Akan tetapi, dengan cepat menjadi jelas bahwa ia tidak mau berubah. Bahkan, seluruh percakapan dipenuhi dengan:
- mengapa ia tidak bisa berubah,
- mengapa ia tidak perlu berubah, dan
- mengapa ia bukan penyebab masalah yang dihadapinya saat ini.
Sekitar setengah jam dalam sesi coaching tersebut, saya sadar bahwa saya tengah berhadapan dengan seorang pemimpin dengan cermin yang pecah.
Bila boleh terus terang, pemimpin tersebut bersifat bebal sehingga hanya membutuhkan orang yang mau mengiyakan dirinya. Tidak ada gunanya untuk melanjutkan percakapan. Coaching dan pertanyaan refleksi tidak akan mengubah banyak hal dalam kepemimpinan dan bisnisnya.
Masalah Cermin yang pecah
Masalahnya, cermin yang pecah tidak bisa dibuat untuk bercermin dengan baik. Ada banyak sudut-sudut yang membuat gambarannya tidak utuh atau terdistorsi; selalu ada sudut yang mengizinkan individu yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari kenyataan (baca: membuat alasan).
Ada peribahasa “buruk muka cermin dibelah”, yang berarti seseorang yang menyalahkan keadaannya yang buruk kepada orang lain, padahal kesalahannya sendirilah yang menyebabkan keadaannya. Namun, pemimpin dengan cermin yang pecah berada dalam kondisi yang lebih mengenaskan. Seolah-olah hatinya sudah keras, sudah tidak berfungsi untuk menilai keadaan.
Bila boleh menggunakan hasil observasi saya selama menjadi seorang Business Coach selama tujuh tahun, saya menemukan bahwa pemimpin dengan cermin yang pecah bisa jadi memiliki jabatan, kecerdasan dan bakat yang luar biasa.
Akan tetapi, jabatan, kecerdasan dan bakat tersebut tidak membuatnya berkembang. Bahkan Anda bisa memperhatikan (dan bertanya-tanya) mengapa dengan jabatan, kecerdasan dan bakat tersebut, pemimpin ini tidak membawa bisnisnya lebih maju secara signifikan.
Perbedaan Utamanya
Satu hal yang membedakan pemimpin yang bijaksana dari pemimpin dengan cermin yang pecah: kemampuannya untuk menerima masukan.
Pemimpin yang bijaksana:
- mau mendengar tanpa sibuk membela diri
- mau menerima tanggung jawab tanpa sibuk menyalahkan
- mau berubah tanpa perlu dipaksa oleh keadaan
Bila Anda berhadapan dengan pemimpin seperti demikian, maka sebuah diskusi memiliki makna. Mereka akan menerima masukan dengan tangan terbuka, dan menggunakannya untuk meningkatkan leadership dan bisnis mereka ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya, bila Anda berhadapan dengan pemimpin dengan cermin yang pecah, maka diskusi hanya membuang-buang waktu. Mereka menolak berubah. Masalah bagi mereka tidak pernah tentang “diri mereka”. Kacamata yang mereka gunakan adalah “mengapa orang itu…” dan tidak pernah tentang “apa yang saya … sehingga orang itu …”
Bayangkan bila karyawan Anda…
Coba bayangkan bersama saya. Bila pemimpin dengan cermin yang pecah demikian defensif dan egois saat berdiskusi dengan seorang Business Coach – apa jadinya bila ia sedang diskusi dengan karyawan-karyawannya?
Dapatkah Anda membayangkan situasi yang “Serba Saya Benar” di sana? Bahkan mungkin Anda menemukan karyawan-karyawan cerdas yang memilih diam daripada mendapat masalah. Benar juga pernyataan dari Andy Stanley, penulis buku Visioneering dan Next Generation Leader, bahwa:
Leaders who don’t listen will eventually be surrounded by people who have nothing to say.
Apa yang perlu saya lakukan?
Artikel ini tidak bertujuan untuk membuat Anda dan saya memusuhi mereka yang merupakan pemimpin dengan cermin yang pecah. Akan tetapi, artikel ini bermaksud mengajak Anda mengganti strategi dalam menghadapi pemimpin dengan cermin yang pecah – khususnya:
Bila Anda adalah tim yang dipimpinnya.
Memiliki atasan yang merasa dirinya selalu benar adalah mimpi buruk bagi setiap karyawan. Akan tetapi, ada dua saran penting yang akan membantu Anda.
Pertama, jangan cepat menyerah.
Kebanyakan tim yang saya pernah temui terlalu cepat menyerah saat menghadapi pemimpin sedemikian. Bila bisa, mereka ingin pemimpin dengan cermin yang pecah itu bisa sadar hanya dengan satu atau dua nasehat. Perubahan di sini memerlukan waktu, jadi saran terbaik untuk Anda adalah: bersabarlah.
Bisa jadi pemimpin tersebut tidak pernah berubah, tetapi bukan berarti keadaan perusahaan Anda tidak akan berubah. Pemimpin tersebut bisa saja pensiun, atau terjadi rotasi/mutasi dalam perusahaan. (Off the record: bila saya bisa mengulang waktu, salah satu keputusan yang ingin saya ubah adalah untuk tidak terlalu cepat resign karena tidak cocok dengan atasan).
Kedua, bangun kehidupan Anda di luar jam kerja.
Sebuah nilai plus bagi Anda bila bisa menggunakan situasi sukar di karir untuk mengasah skill Anda di luar jam kerja. Ikuti seminar, training atau kelas-kelas pelatihan yang relevan untuk kebutuhan karir Anda di beberapa tahun kemudian. Selain memberikan Anda kegiatan, mengasah skill di luar jam kerja akan memberikan Anda work-life balance dan juga perspektif yang lebih segar tentang cara membangun karir.
Bila Anda adalah atasan langsung atau pemilik Perusahaan
John Maxwell mengatakan bahwa kebangkitan atau kehancuran sebuah organisasi bergantung pada kepemimpinan. Dan bila Anda tidak puas dengan kinerja unit bisnis yang dikelola pemimpin dengan cermin yang pecah, maka Anda terpanggil untuk melakukan sesuatu.
Everything rises and falls on leadership – John Maxwell
Melakukan sesuatu di sini bukan berarti Anda lebih banyak menasehati; karena lebih banyak bicara dengan orang yang penuh dengan dirinya sendiri tidak akan membuat dampak positif yang berarti.
Akan tetapi Anda bisa melakukan tiga hal ini.
Pertama, berhenti menasehati.
Cara berpikir pemimpin dengan cermin yang pecah adalah ini:
- mendengar nasehat Anda sejenak,
- menyimpulkan topik nasehat Anda dengan cepat, lalu
- mengarang respon untuk membela dirinya.
Jadi lebih banyak nasehat tidak akan membantu mereka. Jauh lebih baik Anda menggunakan waktu untuk menemukan Key Performance Indicators yang akan Anda terapkan konsisten terhadap pemimpin tersebut. Setidaknya, mereka akan terkondisikan untuk bermain dalam cara Anda menilai kinerja mereka.
Kedua, berikan batasan waktu.
Tentukan batasan waktu yang jelas saat berdiskusi dengannya, misalnya 30 menit atau 1 jam. Lalu hormati batas waktu tersebut. Bila tidak, Anda perlu bersiap-siap untuk kebingungan mengapa energi Anda tampak tersedot habis tetapi diskusinya tidak membuahkan apa-apa.
Ketiga, berikan konsekuensi.
KPI yang Anda terapkan di poin pertama akan memberikan Anda ruang untuk memberikan konsekuensi. Dan konsekuensi tersebut akan melatih pemimpin tersebut dengan cara main yang Anda inginkan. Bila Anda ragu untuk melakukan langkah ini, bisa jadi Anda berkontribusi terhadap sikap pemimpin yang buruk tersebut.
Baca juga: Bila Manager Anda tidak disukai Timnya
Talk It Over
Masalahnya akan rumit bila ternyata pemimpin tersebut adalah anggota keluarga – misalnya anak, adik, sepupu, ipar dan sebagainya. Akan tetapi, kembalilah kepada tujuan utama Anda berbisnis dan pertimbangkanlah para karyawan yang menggantungkan kehidupan serta keluarga mereka pada kebijaksanaan Anda.
Saran saya di sini sederhana:
Jangan mengorbankan banyak orang yang bekerja untuk Anda, demi menyelamatkan muka satu orang.
Intinya, don’t sacrifice the many for one.
Seorang pemimpin yang saya kagumi dan pernah menjadi boss saya adalah Victor Chan. Ia menasehati saya bahwa menjadi seorang pemimpin berarti kita memiliki otoritas lebih untuk melayani lebih cepat dan lebih baik.
Dan untuk melakukannya, kita perlu menjadi pribadi yang mau mendengarkan dan menerima masukan. Energi yang kita miliki, jauh lebih baik digunakan untuk mengembangkan organisasi bisnis kita daripada untuk membela diri dan ego.
Oleh sebab itu, mari pastikan bersama bahwa cermin (baca: hati nurani) kita tidak pecah.
Selamat berkaca dan selamat memimpin!
Download versi PDF dari artikel ini di sini.
Ditulis: Sep 27, 2017 at 08:00