Dr John C Maxwell tidak setuju dengan peribahasa “pengalaman adalah guru yang terbaik”. Tidak sedikit orang yang sudah mengalami pengalaman berulang-ulang, namun tetap melakukan kesalahan yang sama. Oleh sebab itu, pengalaman bukanlah guru yang terbaik. Pengalaman yang dievaluasi-lah guru yang terbaik.
Bila kita mampu menarik pelajaran dari sebuah kesalahan, maka kesalahan itu akan menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Namun, kita akan sangat rugi bila kita gagal mengambil hikmah dari kesalahan tersebut. Dan sama seperti saya, saya yakin Anda pun tidak kebal dari kesalahan – kesalahan keputusan, kesalahan bereaksi, dan kesalahan kepemimpinan lainnya. Yang akan membuat perbedaan bukanlah apakah kita berbuat kesalahan atau tidak, namun apakah kita belajar dari kesalahan itu.
Berikut ini adalah kesalahan-kesalahan yang pernah saya perbuat dalam kepemimpinan dan bisnis, serta apa yang saya coba pelajari dari hal-hal tersebut. (Jadi ingat lagunya Seurieus “Rocker juga manusia” 🙂 )
Tidak memiliki kehidupan pribadi
Saat saya pertama kali berbisnis, bisnis saya adalah segala-galanya untuk saya. Yang terjadi adalah identitas saya menjadi kerdil, saya hanya mengingat bahwa saya adalah owner dari PT XYZ, dan tidak punya kehidupan pribadi lagi.
Tidak ada waktu untuk keluarga, tidak ada waktu untuk relasi dengan sahabat-sahabat, tidak ada waktu untuk berolahraga, tidak ada waktu untuk belajar, tidak ada waktu untuk beribadah, bahkan tidak punya waktu untuk menikmati fasilitas dan profit yang bisnis saya hasilkan.
Dan keadaan itu membuat saya jenuh;
[shareable]dan kejenuhan itu membuat saya kehilangan ketajaman saya dari hal-hal yang membuat saya mendapatkan kesempatan memulai bisnis tersebut.[/shareable]
Saat saya kehilangan ketajaman, saya banyak membuat keputusan yang keliru. Kreatifitas menurun, konsentrasi mudah terpecah, dan cenderung memandang produk dari pandangan ‘insider’ semata. Tanpa butuh waktu lama, saya merasa ‘terjebak’ dalam bisnis dan sibuk bertahan hidup daripada membangun bisnis.
Bermain boneka
Saya mengangkat orang-orang lain menjadi pemimpin di bawah saya, menjadi account manager, communication strategist, finance manager, dan sebagainya. Namun, ketakutan saya bahwa mereka tidak bisa melakukan sebaik saya melakukannya, membuat saya mengabaikan posisi mereka dan melakukan fait accompli dengan turut mengatur langsung bawahan di bawah manager-manager tersebut.
[shareable]Saya menyebutnya “bermain boneka” – saya meminta para manager saya untuk bertanggung jawab, bukan untuk keputusan mereka, namun untuk keputusan saya. [/shareable]
Saya menyadari bahwa memberi pekerjaan itu mudah, namun memberi otoritas untuk menyelesaikan pekerjaan dapat menjadi hal yang sukar dilakukan.
Saat saya “bermain boneka” – saya sadar bahwa hanya orang-orang dengan kualitas dan komitmen rendahlah yang mau “dimainkan”.
Orang-orang dengan kualitas dan komitmen tinggi mau berjuang dan membuktikan mereka bisa menyelesaikan tanggung jawab mereka. Yang mereka butuhkan adalah dukungan, kejelasan tujuan dan coaching.
Bagi saya sekarang, delegasi adalah resiko yang jauh lebih mudah diatasi di jangka pendek – bila dibandingkan dengan “bermain boneka”. Bermain boneka memberikan Anda kendali saat ini, namun tidak dalam jangka panjang – karena Anda harus terus memainkan talinya untuk bisa membuatnya bekerja.
Salah Promosi
Kesalahan lain yang saya lakukan di awal-awal kepemimpinan saya adalah memberikan orang promosi terlalu dini.
Saya tidak berkata bahwa kita harus menahan-nahan promosi jabatan bagi seseorang. Saya merujuk pada promosi terlalu dini, sementara kita tidak melihat apakah orang tersebut memiliki kualitas yang diperlukan untuk jabatan itu.
Kebutuhan akan pos-pos jabatan tertentu yang kosong membuat saya terpacu untuk mengisinya dengan cepat. Dan saya beberapa kali terlalu dini mengangkat orang untuk posisi-posisi kepemimpinan tanpa melihat apakah mereka leaders material atau hanya cakap melakukan tugas. Bahkan saya cenderung yakin bahwa kepemimpinan akan membuat seseorang menjadi dewasa.
Yang terjadi adalah orang-orang itu justru membuat masalah. Mereka memimpin dengan buruk, tidak stabil, egois dan hanya bertahan beberapa bulan. Team di bawah mereka mengeluh kepada saya tentang cara mereka memimpin.
Benar kata Abraham Lincoln,
[shareable]bila Anda mau mengetahui karakter seseorang, berikan mereka kekuasaan[/shareable]
Saya sekarang belajar untuk melihat terlebih dahulu bilamana staf saya memiliki kualitas kepemimpinan yang diperlukan:
- Apakah dia hanya ramah pada saya, atau dia bisa ramah dengan semua orang?
- Apakah dia generous? (karena orang yang kikir biasanya menjadi pemimpin yang egois)
- Berapa kadar “I Know” (baca: sok tahu) yang dimilikinya, sehingga dia siap mendengarkan para stakeholders?
Mereka perlu memiliki “modal” dasar tersebut sebelum bisa dipromosikan.
Penutup
Saya pernah terlalu jenuh dengan bisnis dan kepemimpinan sehingga saya terlalu lemah untuk berjuang di jalur yang menjadi kekuatan saya. Saya pernah “bermain boneka” dan akhirnya dikelilingi oleh staf ABS (Asal Bapak Senang) yang membuat saya nyaman tapi bisnis saya tidak bertumbuh. Saya pernah saya mempromosikan orang sehingga perlu membereskan kekacauan yang mereka perbuat.
Saat ini, saya memastikan agar kekuatan saya utuh – kesehatan saya, keharmonisan keluarga, kehidupan sosial saya, pengetahuan saya, kerohanian saya, bahkan kepuasan jiwa saya. Saya memastikan adanya delegasi yang baik; dan saya memastikan saya mengangkat orang-orang dengan leaders material untuk menjadi Ladders’ Holder saya.
Hasilnya, saya membuat keputusan-keputusan bisnis yang lebih berkualitas dan menemukan bahwa leadership is fun!
Kiranya pengakuan saya menginspirasi Anda, selamat memimpin!
[callout]Artikel asli berjudul: Confession of a Coach – Learning from my ‘stupid’ leadership mistakes. Dipublikasikan di Managers’ Scope Februari 2013[/callout]