Cara Mengambil Keputusan yang Tepat

Apa yang membentuk keputusan yang tepat dan objektif? Artikel ini mengupas cara mengambil keputusan yang tepat dan objektif, serta menghindari subjektifitas yang berlebihan.

Share artikel ini, klik:

Cara Mengambil Keputusan yang Tepat – Outline

Pernahkah Anda menonton film ‘Click’ yang dibintangi oleh Adam Sandler? Film komedi di era 2006 itu berkisah tentang Michael Newman yang mendambakan posisi kemitraan di perusahaan arsitektur tempatnya bekerja.

Dengan sebuah remote ajaib, Michael memanipulasi waktu dalam kehidupannya, seperti mempercepat kegiatan yang tidak disukainya untuk bisa mempercepat karirnya. Yang menarik dari film tersebut adalah: remote ajaib tersebut terlatih untuk mengingat apa yang Michael inginkan, dan akhirnya remote tersebut yang mengendalikan hidup Michael. Konsep dari remote dalam Click sebenarnya mirip dengan otak kita – terlatih dengan apa yang kita lakukan.

Sudahkah Anda menonton Click?

Ya, otak kita terlatih demikian.

Itu sebabnya, seorang supir taksi akan memiliki area hippocampus (bagian yang digunakan untuk navigasi) yang lebih besar dari kebanyakan orang. Atau contoh lain, seorang pemusik akan cenderung memiliki area motor cortex yang lebih berkembang mengendalikan gerakan tubuh yang direncanakan pikiran. Dengan kata lain, otak kita dibentuk dengan apa yang kita lakukan berulang-ulang.

Bagaimana Anda melatih Pikiran Anda?

Untuk menjawab bagaimana cara mengambil keputusan yang tepat, pertama-tama saya ingin mengajak kita merenungkan pertanyaan ini: bagaimana Anda melatih pikiran Anda selama ini?

Bila pemikiran kita dibentuk dengan apa yang kita lakukan berulang-ulang selama ini, mungkinkah pengambilan keputusan kita sebagai pemimpin bisnis ternyata keruh dengan emosi-emosi yang membuat kita tidak objektif?

Coach danny

Peranan Anda sebagai pemimpin bisnis ditentukan oleh kemampuan Anda mencapai hasil. Anda menganalisa sebuah keadaan, mengambil keputusan, bertindak dan menantikan apakah action Anda itu menghasilkan result yang Anda rencanakan.

Yang perlu kita garisbawahi di sini adalah urutan dari keputusan Anda. Result Anda ditentukan oleh action yang Anda ambil. Akan tetapi action yang Anda ambil ditentukan oleh keputusan yang Anda buat. Dan cara mengambil keputusan yang tepat seringkali dipengaruhi keberhasilannya dengan apa yang Anda pikir atau percaya akan situasi yang tengah Anda hadapi.

Nah, cara Anda berpikir akan situasi yang sedang Anda hadapi – sangat ditentukan oleh apa yang seringkali Anda putuskan untuk masalah-masalah serupa atau hal lainnya. Menurut saya pula, cara berpikir Anda dalam menganalisa sebuah masalah ditentukan oleh cara Anda mengolah pikiran Anda melalui pertanyaan-pertanyaan yang Anda tanyakan pada diri Anda.

Sebagai contoh, bila saya menemukan seorang pemimpin mengalami stagnasi dalam bisnisnya, saya akan mencoba menelaah cara pemimpin tersebut mengambil keputusan strategis.

Penemuan saya menyimpulkan bahwa pemimpin yang stagnan biasanya menanyakan diri mereka hal-hal yang masih ‘employee-minded’ saat mengambil keputusan

COACH DANNY

Tidak jarang masalah-masalah yang mereka hadapi saat ini, seperti karyawan yang tidak cakap bekerja, atau produk yang banyak dikomplain oleh pelanggan, atau masalah lain – diawali dengan cara berpikir yang hanya menanyakan pertanyaan tunggal: “ada yang lebih murah?”

Cara berpikir yang hanya mencari yang ‘lebih murah’ tampak rasional, namun sesungguhnya tidak efektif. Mengapa? Karena ada sudut-sudut lain yang perlu dieksplor sebelum Anda dan saya mengambil keputusan daripada menyesal di belakang hari (baca: membayar harga yang lebih mahal).

insider versus outsider perspective

Insider versus Outsider Perspective

Sebagai orang luar dari bisnis Anda, saya memiliki ‘outsider perspective’ yang umumnya lebih segar dan rasional dalam menilai cara Anda mengelola bisnis. Namun itu berlaku juga sebaliknya, saya cenderung lebih keruh dan subjektif dalam menilai bisnis saya sendiri.

Itu dikarenakan saya tenggelam dalam ‘insider perspective’ saat menilai bisnis saya, dan ‘insider perspective’ kental dengan kejenuhan sehingga saya tidak jeli lagi dalam penilaian yang objektif.

Hal itu sama seperti seorang produsen otomotif yang kehabisan akal mengenai penyebab produknya tidak selaris produk kompetitor dan mencari cara untuk mengefisienkan proses produksi dan sebagainya. Itu adalah insider perspective.

Namun saat produsen tersebut menjangkau keluar dan mencoba duduk di kursi prospek pembeli produknya, ia bisa saja menemukan banyak ide tentang bagaimana membuat prospeknya benar-benar membeli bahkan mereferensikan produknya di media sosial. Yang terakhir ini adalah outsider perspective.

Nilailah Cara Anda Mengambil Keputusan

Berikut ini saya mencoba membagikan beberapa pertanyaan yang dapat Anda gunakan untuk mengevaluasi bagaimana cara Anda mengambil keputusan – entah itu lebih banyak objektif atau lebih banyak aspek subjektifnya.

  • Seberapa seringkah Anda, dalam sehari, seminggu atau sebulan, bereaksi berlebihan atas situasi tertentu? Decision makers yang dikendalikan oleh emosi merasakan sesuatu lalu bertindak, sementara mereka yang proactive bisa mengendalikan reaksi mereka.
  • Seberapa seringkah Anda, dalam sehari, seminggu atau sebulan, merasa apa yang sedang terjadi pasti berhubungan dengan Anda secara pribadi? Decision makers yang take things personally, atau merasa yang sedang terjadi ‘pasti ada hubungannya dengan saya’ cenderung moody karena diliputi oleh perasaan tidak aman dan berusaha untuk mengamankan posisi sendiri. Sebagai dampaknya, objektif/ tujuan dari solusi yang sedang dicari pertama-tama adalah untuk kepentingan pribadi bukannya untuk kepentingan solusi itu sendiri.
  • Apakah realitas tujuan dari apa yang sedang terjadi? Decision makers yang objektif memperhatikan tujuan riil dari masalah yang dihadapi. Mereka melihat gambaran besarnya dan mengaitkan sauh prinsip pengambilan keputusan kepada objektif (tujuan).
  • Bila keputusan yang Anda buat tidak membuahkan hasil, tanyakan: apakah keadaan ini terkait dengan cara berpikir saya? Apa yang saya sebenarnya pikirkan terjadi? Decision makers yang objektif tidak perlu ‘jitu’, namun perlu selalu mengevaluasi keputusan-keputusannya. Salah satunya adalah dengan merenungkan bilamana suatu masalah terkait dengan cara berpikir yang keliru.

Albert Einstein mengatakan bahwa kita tidak bisa keluar dari sebuah masalah dengan cara pikir yang membuat kita berada di masalah tersebut. Tanyakan pula pada diri kita, apa yang saya pikir sebenarnya terjadi (padahal belum tentu?). Ini dapat membantu Anda menilai reactive blindspot Anda terhadap sebuah masalah.

Bagaimanakah respon Anda?

Decision makers yang objektif bisa mengingat responnya, karena ia membuat responnya dengan pertimbangan bukan dengan emosi. Renungkan kembali, dan tanyakan: apa yang sebenarnya bisa menjadi respon yang lebih baik?

Decision makers yang objektif belajar dari kekeliruannya dan merancang respon yang lebih baik sekalipun belum bisa langsung diterapkan. Hal ini akan membantu otak kita terlatih untuk mencetuskan solusi yang kita renungkan tersebut di masa depan.

Apa kerugian yang Anda derita?

Napoleon Hill mengatakan ‘let your dissatisfaction works for you’. Gunakan rasa penyesalan Anda dan perenungan akan kerugian (waktu, citra, uang, dan sebagainya) untuk menjadi cambuk mencapai keputusan-keputusan yang lebih objektif di masa yang akan datang.

Emotion versus Character

Setelah menulis sepanjang ini, logika saya menyerukan bahwa tidak ada keputusan yang 100% objektif. Cara kita mengambil keputusan pasti subjektif, karena cara kita mengambil keputusan dipengaruhi oleh oleh apa yang kita lakukan berulang-ulang dari masa kecil kita sampai detik ini. Pengalaman kehidupan kita itu tidak bisa diinstall ulang seperti operating system sebuah komputer.

Akan tetapi, bukan berarti Anda dan saya tidak bisa mengendalikan derajat subjektifitas dari pengambilan keputusan kita. Di sinilah karakter kepemimpinan terlibat.

Kabar baiknya: Anda bisa mengendalikan derajat subjektifitas dari pengambilan keputusan

cOACH DANNY

Bila saya adalah seorang pemimpin yang tidak mengenal dan tidak membangun karakter, maka subjektifitas saya dalam mengambil keputusan akan sangat loose – sangat lepas dan dipengaruhi oleh apa pun yang terjadi pada diri saya.

Akan tetapi, bila saya mengenali dan melatih karakter saya, maka subjektifitas saya dapat dikendalikan dan ditundukkan kepada karakter. Dalam konteks korporasi, karakter adalah budaya perusahaan yang membentuk bagaimana keputusan para eksekutif terbentuk.

Penutup

Dr. John Maxwell menuliskan “Decisions can only help us start. Discipline helps us finish”.

Anda bisa memutuskan, namun Anda memerlukan disiplin untuk menyelesaikan pelaksanaan dari keputusan itu. Saya percaya dengan pengambilan keputusan yang lebih disiplin untuk objektif, tindakan unit bisnis Anda dapat lebih efektif dan hasil yang Anda raih dapat lebih baik.

Ingatlah untuk tidak membiarkan habit Anda mengambil alih pengambilan keputusan Anda, seperti remote Click dalam kehidupan Michael Newman.

Selamat memutuskan dengan objektif.

Follow Coach Danny di Instagram @coachdannydharma

Artikel asli berjudul 'Does Objective Decision Making Really Exist' ditulis oleh Coach Danny untuk Managers' Scope (Maret 2015)
Share artikel ini, klik: