Merdeka Sepenuhnya

Apa arti kemerdekaan bagi Anda sebagai seorang business owner? Apa yang bisa Anda lakukan untuk mewujudkan apa yang Bung Karno sebut sebagai masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Share artikel ini, klik:

Sudah 72 tahun Indonesia merdeka.
Namun apakah arti kemerdekaan itu bagi Anda?

Setiap kita mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai makna kemerdekaan. Namun yang membuat saya kuatir adalah bagaimana generasi muda masa kini memaknainya. Generasi muda di era masa kini – dan itu bisa pula adalah tim Anda atau salah seorang pemimpin di organisasi Anda – bisa jadi hanya memandang 17 Agustus sekedar sebagai ulang tahun negara dan bangsa Indonesia.

[shareable cite=”Ir Soekarno”]Merdeka hanyalah sebuah jembatan… Di seberang jembatan, jembatan emas inilah, kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.[/shareable]

Makna Pengorbanan dalam Kemerdekaan

Hari kelahiran (baca: ulang tahun) atau hari kemerdekaan memang sama-sama mengandung pengorbanan. Hari kelahiran mengakhiri pengorbanan seorang Ibu mengandung janin dalam kandungannya selama kurang lebih sembilan bulan. Itu pun masih termasuk pengorbanan dari pihak ayah dan keluarga dalam mempersiapkan baik si Ibu maupun rumah tangga untuk menyambut kelahiran sang buah hati.

Akan tetapi, hari kemerdekaan sebuah bangsa, apalagi dalam konteks Indonesia, adalah hasil pengorbanan berabad-abad. Sudah terlalu banyak darah, keringat dan hati yang dikorbankan sampai akhirnya kita siap bersatu dan memutuskan untuk merdeka dari penjajahan.

Kemerdekaan, bila demikian, lebih dari sekedar ulang tahun.

Apa itu kemerdekaan?

Salah satu definisi kemerdekaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kondisi dimana kita tidak lagi terikat, tidak lagi bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Saat Anda dan saya belum merdeka, ada pihak lain yang ikut campur bahkan menentukan apa yang kita perlu lakukan. Namun ketika kita mencapainya, kitalah yang menentukan arah kehidupan ini.

[shareable cite=”KBBI”]Merdeka: kondisi dimana kita tidak lagi terikat, tidak lagi bergantung kepada orang atau pihak tertentu[/shareable]

Akan tetapi, bila kita benar-benar merdeka, mengapa kondisi bangsa merdeka yang satu berbeda dengan bangsa merdeka lainnya padahal usia kemerdekaannya tidak jauh berbeda?

Indonesia merdeka 18 tahun lebih dahulu dari Singapura, namun kondisi kita jauh tertinggal dibandingkan negara satu pulau tersebut. Mengapa pula kondisi kota yang satu berbeda dengan kota lainnya di dalam sebuah bangsa yang merdeka dari Sabang sampai Merauke? Dan, terkait dengan bisnis, mengapa kondisi perusahaan yang satu berbeda dengan lainnya?

Jawaban singkatnya terletak di cara mengisi kemerdekaan itu.

Kemerdekaan, seperti yang Bung Karno katakan hanyalah sebuah jembatan. Apa yang kita lakukan di seberang jembatan itulah yang menentukan. Kemerdekaan memberikan kita kunci untuk mengisi hidup dan dunia ini dengan kreatifitas dan keunggulan yang kita selama ini idam-idamkan.

Bila saat terjajah, kita terbelenggu dengan apa yang ‘sang penjajah’ anggap penting, maka saat merdeka kitalah yang menentukan apa arti ‘penting’ itu sesungguhnya. Bila saat terjajah, kita terbelenggu dengan batasan akan apa yang boleh kita lakukan, kemerdekaan memberi kita kunci untuk melakukan lebih dari apa yang biasa kita lakukan.

Dan saya tidak bisa menemukan kata yang lebih kuat selain EXCELLENCE untuk mengundang setiap kita mengisi kemerdekaan ini, di ranah apa pun Anda berpartisipasi. Excellence adalah saat Anda bukan hanya sekedar unggul dari pihak lain, namun Anda dan saya berkomitmen untuk melakukan sesuatu dengan mutu tinggi, tidak asal-asalan.

[shareable cite=”Coach Danny”]Excellence demikian pentingnya, sehingga tanpanya, sebenarnya kita tidak jauh berbeda dari keadaan sebelum kita ‘merdeka.[/shareable]

Hambatan untuk Excellence

Sayangnya, tidak banyak orang yang suka bekerja secara excellence. Yang banyak adalah orang yang suka menikmati excellence. Tidak banyak orang yang suka melakukan sesuatu dengan mutu kerja yang tinggi, namun marah kalau mendapatkan perlakukan asal-asalan dari pihak lainnya.

Berikut ini adalah empat alasan yang paling sering menghambat excellence:

ASUMSI

Kita merasa sudah tahu apa orang lain tahu, rasa dan inginkan. Hal ini membuat kita tidak memberikan perhatian objektif pada situasi yang sedang kita alami. Kita cenderung mengerjakan tanpa mempedulikan apakah keadaan sudah berubah, apakah inovasi diperlukan, termasuk bilamana kita memerlukan ‘upgrade’ agar bisa berkinerja lebih baik.

Ah, saya sudah melakukan ini bertahun-tahun’ adalah salah satu contoh ujaran dari orang yang terhambat dengan asumsi. Dengan mengatakan hal itu, pintu untuk bekerja dengan mutu tinggi tertutup dengan persepsi bahwa ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Dalam dunia korporasi, bila ‘saya’ adalah profesional yang memimpin dengan asumsi, maka itu akan serupa dengan katak yang memimpin dunia luar dari dalam tempurung. Dan itu sangat berbahaya. Kita akan kebal dari mengenali pergeseran pasar dengan lensa yang jernih, dan beresiko terlibas dengan kompetisi.

AROGANSI

Kita merasa tidak perlu tahu apa yang orang lain tahu, rasa atau inginkan. Pemimpin yang arogan belum tentu hanya orang yang meremehkan orang lain dengan kata-katanya, namun juga orang yang meremehkan keadaan dengan sikapnya. Kita terbiasa mendefinisikan arogansi sebagai sifat congkak yang meninggikan diri dan merendahkan orang lain dengan kata-kata. Namun terkait dengan excellence, arogansi artinya Anda dan saya merasa keinginan kita-lah yang paling penting dan ukuran mutu terletak dari apa yang kita inginkan.

Arogansi terjadi di semua level, bahkan di tingkatan orang-orang yang menjuluki diri mereka ‘wong cilik’. Bila Anda dan saya merasa keinginan kitalah yang terpenting dan orang lain harus menuruti saya apa pun resikonya – itu adalah sikap arogan – entah dilakukan dengan kasar maupun halus.

Bila hal ini terjadi dalam dunia korporasi, maka kita akan gagal menjadi excellent – bahkan di tahap awal sekali pun. Mengapa? Karena kita tidak akan sedikit pun berupaya melakukannya – kita percaya bahwa kita tidak perlu melakukannya semenjak kita ada di posisi yang lebih tinggi.

Arogansi membuat korporasi melihat diri mereka pongah bagaikan raksasa yang memonopoli pasar sehingga bisa berlaku seenaknya. Arogansi akan menyunat potensi excellent Anda karena sibuk memperhatikan apa yang bisa Anda raup dan tidak mengindahkan mutu yang perlu Anda hantarkan melalui produk/jasa Anda.

CUEK

Kita merasa tidak peduli dengan apa yang orang lain tahu, rasa atau inginkan. Kecuekan berbeda dengan arogansi dalam hal ini. Arogansi merasa tidak perlu mengetahui sehingga mereka tidak mau mendengar sama sekali. Kecuekan itu tetap mendengarkan, namun memutuskan untuk tetap tidak peduli.

[shareable cite=”Coach Danny”]Kecuekan itu tetap mendengarkan, namun memutuskan untuk tetap tidak peduli[/shareable]

Oh, betapa banyaknya profesional dan pemimpin bisnis yang urung menjadi excellent karena hambatan kecuekan ini. Dan jebakan ini biasa diselimuti dengan zona nyaman atau comfort zone, sehingga kita hanya menyampaikan hal standar yang menurut kita masih diterima oleh pasar.

Kecuekan sangat bertolak belakang dengan excellence, karena excellence atau mutu tinggi serta tidak asal-asalan dapat diterjemahkan pula sebagai perhatian pada rincian. Bayangkan bila perusahaan Anda memiliki excellence dimana semua customer dikenali dengan baik versus perusahaan yang terus menerus menanyakan nama kepada customer yang sudah membeli berkali-kali di sana. Customer yang terus menerus ditanyakan namanya akan berpikir bahwa perusahaan tersebut tidak peduli dan ia adalah sekedar angka lain yang menyumbangkan omzet.

Tidak mengherankan bila orang-orang yang cuek adalah orang yang cukup tertekan dengan persaingan usaha, namun tidak melakukan apa-apa. Mereka mengeluhkan pertarungan pasar, dan mereka tahu apa yang mereka harus lakukan – namun mereka berkata ‘terlalu berlebihan untuk memberikan mutu tinggi’. Akibatnya, korporasi yang memiliki profesional yang ‘cuek’ akan cenderung kalah dengan kompetisi ATAU mempertahankan posisi dengan biaya yang terlalu mahal.

Kendali

Kita tidak mau orang lain tahu apa yang kita tahu, rasa atau inginkan. Hambatan keempat ini berakar dari insecurity atau ketidakpercayaan diri. Hambatan yang bernama ‘kendali’ (baca: keinginan untuk mengendalikan keadaan), membuat Anda dan saya mengalami kesenjangan antara apa yang kita upayakan dengan apa yang pasar inginkan terkait excellence.

‘Kendali’ berkata bahwa saya ingin memberikan mutu yang tinggi, namun saya tidak mau belajar. ‘Kendali’ berkata bahwa saya ingin memberikan hasil yang tidak asal-asalan, namun hanya berdasarkan apa yang saya biasa lakukan.

Mengapa? Karena saya tidak ingin orang lain tahu apa yang saya tahu atau inginkan.

Mengapa? Karena bila orang lain tahu, bisa jadi mereka mencuri ide saya.

Oleh sebab itu lebih baik saya memberikan mutu yang seperti ini dulu saja, sampai saya yakin bahwa saya aman dalam melakukan excellence.

Bila Anda dan saya mengalami hal ini dalam dunia korporasi, yang terjadi adalah bahwa kita cenderung menutup diri terhadap tim dan pasar. Anda menyimpan semua informasi untuk diri Anda sendiri.

Itu sebabnya Jim Lundy menuliskan ini dalam bukunya Lead, Follow or Get Out of the Way saat melukiskan keluhan tim terhadap pimpinan mereka:

kami adalah orang-orang yang tidak mendapat informasi, bekerja bagi atasan yang tidak bisa didatangi, melakukan hal-hal yang tidak masuk akal bagi orang-orang yang tidak berterima kasih.

Anda dan saya sudah pasti gagal dalam membangun perusahaan yang excellence, bermutu tinggi dan tidak asal-asalan bila kita menolak memberitahu orang lain – bahkan tim kita – mengenai apa yang Anda percayai dan apa yang harus kita lakukan bersama.

Refleksi tentang Excellence bagi seorang pemimpin

Dengan posisi sebagai pemimpin dunia usaha dan professional, seharusnya kita tidak lagi merasa terbatas untuk excellent seperti halnya orang-orang yang bekerja dibawah kendali orang lain. Namun, asumsi, arogansi, kecuekan atau kendali bisa membuat Anda lupa bahwa Anda sudah merdeka dan leluasa menyusun makna dari kemerdekaan yang Anda miliki sebagai seorang pemimpin.

Empat faktor penghambat itu mendorong Anda ke belakang dan membuat Anda sama seperti normalnya korporasi dan bisnis. Kabar buruknya ‘normal’ tidak memiliki keunggulan dan daya saing. ‘Normal’ itu biasa-biasa saja dan dengan mudah digantikan. ‘Normal’ membuat Anda dan saya tidak ada bedanya dengan kondisi sebelum ‘merdeka’.

[shareable cite=”Coach Danny”]‘Normal’ membuat Anda dan saya tidak ada bedanya dengan kondisi sebelum ‘merdeka’.[/shareable]

Panggilan kita di ujung jembatan kemerdekaan – baik kemerdekaan sebagai pemimpin dan dalam konteks bangsa – adalah sama.

Apakah kita hanya sekedar mau menikmati posisi kita dan merayakan ulang tahun kemerdekaan setahun sekali? Ataukah kita mau – seperti impian Bung Karno – menyusun isi kemerdekaan kita dengan kegagahan dan kekuatan.

Bayangkan sebentar bersama saya, apa jadinya bila setiap Presiden Direktur perusahaan, Wakil Direktur, General Manager, Manager, Supervisor, dan tim member memberikan kinerja yang bermutu tinggi serta tidak asal-asalan.

Apa jadinya bila perusahaan kita memutuskan untuk berfungsi secara maksimal dan memberikan produk/jasa dengan layanan bermutu tinggi dan tidak asal-asalan?

Ini jawabannya: kita akan menjadi inspirasi bagi banyak orang, memacu orang lain untuk memberikan yang terbaik dan bermutu tinggi pula. Tanpa disadari, bangsa ini akan penuh dengan korporasi dan orang-orang yang excellence dan membawa Indonesia ke panggung dunia dengan keharuman mutu kerjanya.

Dan itu mungkin sama persis dengan apa yang Bung Karno maksud dengan masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

[youtube id=”GenukHtqZiw”]

Merdeka!

Ide-Bisnis.com

[callout]Artikel ini diadaptasi dari Excellently Free! karangan Coach Danny Wira Dharma pada Agustus 2015. Dimuat di Managers Scope Aug 2015.[/callout]

Share artikel ini, klik: