Seorang pemuda yang tinggal di desa ingin membuat sepatu.
Maka pergilah ia ke tukang sepatu desa itu yang mengukur dan mencatat ukuran kaki sang pemuda pada secarik kertas untuk membeli besar kulit yang sesuai.
Namun, sebelum kulit dibeli, paman sang pemuda mengajaknya ke kota besar. Di kota besar itu, sang pemuda mengunjungi toko sepatu di mana pelayan toko mencari sepatu yang pas baginya.
Setelah mencoba berbagai sepatu, sang pemuda menemukan sepatu yang pas bagi kakinya. Sang pemuda kemudian mencari kertas berisi catatan ukuran kakinya yang dibuat tukang sepatu di desanya, namun ia tak kunjung menemukannya.
Akhirnya ia menyadari bahwa kertas itu ketinggalan di desanya. Maka dengan sedih ia mengatakan kepada sang pelayan bahwa ia tidak bisa membeli sepatu itu karena kertas berisi ukuran kakinya ketinggalan di desanya.
“Tapi Pak,” kata sang pelayan yang kebingungan. “Bukankah Bapak melihat sendiri bahwa sepatu ini sudah pas dengan kaki Bapak? Mengapa Bapak masih membutuhkan kertas itu?”
“Karena tukang sepatu itu lebih tahu ukuran sepatu yang sesuai dengan kaki saya daripada saya sendiri,” kata sang pemuda dengan sedih.
Itulah kisah yang diceritakan oleh Han Fei Zi, seorang ahli hukum dari Tiongkok kuno yang heran pada orang yang lebih percaya pendapat orang lain daripada pengalamannya sendiri.
Hal ironis seperti itu, sayangnya juga terjadi dalam dunia leadership masa kini. Direktur-direktur yang tidak berani memutuskan dan bertindak sebelum sang boss besar terlebih dahulu bersuara. Atau manager-manager yang tidak berani berinovasi dan berkreasi karena kuatir berbeda dari apa yang akan dijalankan sang boss. Skenarionya bisa berlanjut dan terus berlanjut.
Yang pasti dampaknya adalah bisnis Anda jadi tidak gesit dan kompetitif.
Mengapa demikian? Karena saat para direktur dan manager bersikap seperti pemuda dalam kisah Han Fei Zi tersebut, maka perusahaan Anda hanya mengandalkan energi sang boss untuk menggerakkan bisnis dan inovasi.
Mari kita amati gambar berikut ini:
Ilustrasi di atas menggambarkan dua keadaan.
Gambar A adalah keadaan a genius with a thousand helpers seperti yang Jim Collins tulis dalam buku Good to Great (2001). Satu orang boss mengelola semua aspek dalam bisnis, dan kondisi ini efektif kecuali saat sang boss tidak hadir untuk mengambil keputusan. Bila Anda mengira bahwa kondisi ini terjadi dalam perusahaan kecil dan menengah, maka izinkan saya menyampaikan bahwa Jim Collins melakukan survei justru dalam korporasi-korporasi besar saat menulis buku tersebut.
Gambar B adalah resiko yang bisa terjadi dalam perusahaan dimana para eksekutifnya berfungsi sebagai penunggu titah sang boss. Saat sang boss berhalangan, tidak ada lagi sinergi dalam perusahaan. Setiap eksekutif tidak terhubung secara visi dan cara kerja. Sebuah kondisi yang bisa memburuk – entah menjadi konflik dimana satu sama lain bergerak ke visi yang berlawanan; atau dilibas oleh kompetisi dan krisis.
Sebelum menyalahkan sang boss…
Beberapa orang mungkin merespon: “tapi Coach tidak tahu bagaimana boss saya“.
Sebagai seorang Executive Coach, respon-respon seperti itu tidak jarang saya terima. Status kita sebagai eksekutif masih menyisakan resiko bilamana salah keputusan bisa menyebabkan kita kehilangan jabatan atau pekerjaan.
Berbalik ke kisah Han Fei Zi di awal tulisan ini, bisa jadi Anda merasa bagaikan pemuda yang kuatir dengan pendapat tukang sepatu desa:
- mungkin kuatir menyinggung perasaan tukang sepatu dengan tidak mengindahkan ukuran kaki di secarik kertas
- mungkin kuatir tukang sepatu lantas “ngambek” dan tidak mau membantu ia dan keluarganya dengan keperluan sepatu-sepatu lainnya
- mungkin kuatir tukang sepatu akan diprovokasi oleh pemuda-pemuda desa yang kurang suka dengan Anda, dan akhirnya marah dengan Anda.
Pernahkah Anda merasa kuatir seperti itu?
Sifat Sang Boss jadi Excuse Anda?
Bila ada satu hal yang perlu Anda perhatikan dalam kondisi “a genius with a thousand helpers” adalah mengenali dan melumpuhkan asumsi yang keliru.
Menempatkan kesalahan pada sifat sang boss adalah asumsi yang paling sering terjadi: “kalau saya bertindak sebelum izin boss, bisa repot nanti saya Pak” atau “daripada nanti dimarahi, mendingan nunggu boss sadar aja deh Pak” dan berbagai alasan serupa.
Sementara itu dari sudut pandang sang boss, bisa jadi beliau menginginkan manager-manager yang bisa menjadi kacamata yang jernih. Kebanyakan boss tidak ingin memiliki another yes man. Saya tahu tentang ini karena dalam pengalaman saya menjadi business coach satu dekade terakhir, dan hampir semua business owner ingin manager mereka punya keberanian untuk mengusulkan rencana, mengambil tanggung jawab dan mengeksekusi rencana tersebut.
[shareable cite=”Coach Danny”]Kebanyakan boss tidak ingin memiliki another yes man. [/shareable]
Tiga titik evaluasi bagi manager
Bila demikian, apa yang menyebabkan beberapa manager atau direktur bersikap seperti pemuda dalam kisah Han Fei Zi? Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita evaluasi bersama:
1. Birokrasi
Tahukah Anda bahwa birokrasi bisnis di Indonesia adalah salah satu yang terumit di dunia? Tentunya itu lebih terkait peraturan pemerintah yang memberikan banyak sakit kepala pada pelaku bisnis di tanah air.
Akan tetapi yang namanya birokrasi juga bisa terjadi dalam korporasi – baik dalam konteks grup perusahaan, maupun unit usaha yang baru dibentuk atau startup.
Inti dari birokrasi adalah adanya sistemasi bisnis yang tersentralisasi dan ketat, dan bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi, keteraturan dan mengurangi sikap keberpihakan/ pilih kasih. Tujuan dari birokrasi, dengan demikian, adalah baik.
Akan tetapi, dengan perkembangan zaman dan generasi baru (Gen Y dan Z) memasuki dunia kerja dan bisnis, maka peraturan-peraturan birokrasi bisa kehilangan manfaatnya dalam dinamika generasi tersebut. Saya ingin lebih menggarisbawahi masuknya generasi baru ke dunia bisnis dalam artikel ini. Alasannya karena generasi baru di pasar berarti adanya perilaku baru konsumen yang bisa jadi tidak bisa dipuaskan dengan sistem birokrasi bisnis yang lama.
Apa kaitan birokrasi dengan sikap manager dan direktur? Jawabannya adalah: hanya sedikit sekali manager atau direktur yang berani meremajakan, atau setidaknya mengusulkan peremajaan, birokrasi. Proses panjang untuk memperbaharui sistem membuat banyak manager dan direktur lebih memilih diam dan tunduk buta terhadap birokrasi, walaupun dalam hati mereka sadar apa yang lebih baik dilakukan.
[shareable cite=”Coach Danny”]Marketing Tips: generasi baru di pasar berarti adanya perilaku baru konsumen yang bisa jadi tidak bisa dipuaskan dengan sistem birokrasi bisnis yang lama[/shareable]
[callout]Out of the Box Anda mungkin sudah sering mendengar istilah out of the box, yang menandakan inovasi. Birokrasi adalah box yang membatasi di enam sisi, dan keberanian Anda untuk keluar dari box akan menjadi legacy Anda dalam jabatan managerial atau direktur Anda. [/callout]
2. Kepercayaan Diri yang Rendah
Hal lain yang membuat para manager dan direktur punya sikap serupa dengan pemuda dalam kisah Han Fei Zi adalah kepercayaan diri yang rendah.
Ada manager-manager yang merasa dirinya tidak capable, tidak sepandai atasan. Dan ada juga direktur-direktur yang takut salah dan lebih bermain aman. Selain itu, memang ada orang-orang tertentu dalam perusahaan yang memposisikan diri mereka sebagai guardian of compliance – orang yang paling tahu apa yang diinginkan boss, orang yang paling ingat peraturan birokrasi (bisa jadi karena ia yang mengusulkan dan membuatnya).
Sebenarnya, fakta bahwa seseorang dipercaya untuk menjadi manager atau direktur menandakan ia memiliki kualitas lebih baik dari orang-orang yang dipimpinnya. Sayang sekali tidak sedikit manager atau direktur yang merasa tidak capable hanya stop di level “merasa”. Mereka tidak menindaklanjutinya dengan upaya menjadi capable.
Dave Ferguson memberikan 12 indikator pemimpin lemah:
Yang bisa kita lakukan bila berada di posisi seperti ini adalah dengan belajar.
Dr John Maxwell mengatakan bahwa ada tiga hal yang membuat kita bisa berubah:
- kita cukup menderita – sehingga harus berubah
- kita cukup belajar – sehingga tahu cara berubah
- kita cukup menerima realita – sehingga tahu dimana perlu berubah
Investasikan skill-skill yang relevan untuk diri Anda. Bisa jadi itu adalah ilmu leadership, komunikasi, dan sejenisnya. Namun, tidak tertutup kemungkinan, belajar kompetensi untuk hal-hal yang paling tidak Anda nyaman saat berdiskusi, misalnya marketing, finance, teknologi atau business in general.
Saat skill Anda bertambah dan disandingkan dengan kompetensi Anda sebelumnya, maka Anda lebih percaya diri dan bisa menjadi aset yang berfungsi lebih efektif bagi perusahaan: menjadi leader sejati, bukan pengikut saja.
[shareable]Everybody wins when a leader gets better.[/shareable]
3. Karakter yang Buruk
Pada akhirnya ada juga manager-manager atau direktur-direktur yang tidak berinovasi karena karakter dan motivasi menjabat yang kurang baik. Sebagai contoh, orang-orang yang menjabat hanya untuk uang dan fasilitas – dimana pun ia ditempatkan. Jadi tidak ada asimilasi terhadap visi boss atau perusahaan baginya. Ia hanya sekedar memastikan boss senang di saat ini, dan memiliki banyak alasan bila di hari depan ditegur boss karena kinerja.
Kondisi ini berbeda dari kisah Han Fei Zi dimana pemuda tersebut bukannya orang dengan watak aji mumpung dan malas bekerja.
Renungan
Menjadi seorang pemimpin dalam organisasi, baik sebagai manager unit bisnis sampai pada posisi direktur, adalah sebuah privilege. Kita memiliki kesempatan untuk melayani tim, customer dan boss kita dengan lebih baik – dibanding dari posisi kita sebagai staff semata. Akan tetapi, kita perlu memiliki keberanian untuk mewujudkan apa yang kita tahu benar untuk dilakukan – baik dengan pendekatan out of the box, maupun belajar meningkatkan kompetensi.
Dengan menjadi pemimpin yang baik, maka semua orang yang terkait akan beruntung memiliki Anda dalam organisasi, seperti yang sering saya dengungkan: everybody wins when a leader gets better.
[callout]Referensi: (1) https://ekonomi.bisnis.com/read/20201016/9/1306014/birokrasi-bisnis-di-indonesia-terumit-di-dunia-ini-tanggapan-pemerintah; (2) Richard Swedberg; Ola Agevall (2005). The Max Weber dictionary: key words and central concepts. Stanford University Press. pp. 18–21. Retrieved 23 March 2011 via Wikipedia[/callout]