Seekor lalat menghabiskan kekuatan terakhirnya berupaya melewati jendela kaca di depannya. Lalat yang terus menabrak kaca itu seakan mengungkap bagi kita filosofinya: “cobalah lebih keras lagi”.
Namun ya pasti tidak berhasil.
Upaya penuh semangat seperti itu tidak memberikan harapan yang berdasar. Bahkan sebenarnya semangat seperti itu merupakan sebuah jebakan, karena tidak mungkin bagi sang lalat untuk berupaya sangat keras dan sukses menembus kaca, sekalipun ia sering menonton MacGyver. Dan lalat tersebut bisa mati karena terus mencoba menembus kaca dengan terbang lebih keras menabrakkan dirinya.
[callout](catatan, bila Anda tidak tahu siapa MacGyver, bisa jadi Anda generasi yang lebih muda dari saya)[/callout]
Beberapa meter dari jendela kaca itu ada sebuah pintu yang terbuka. Bila lalat itu terbang ke sana, ia akan membutuhkan kurang lebih sepuluh detik dan ia bisa mencapai udara terbuka dengan mudahnya.
Kesempatan breakthrough ada di sana. Dan sebenarnya mudah.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa sang lalat tidak mencoba cara lain?
- Mengapa ia demikian terpaku dengan sebuah cara, yang dilakukan tanpa hasil begitu lama, bagaikan sebuah janji yang menyakinkan?
- Logika apa yang ada di sana sehingga sang lalat terus melanjutkan upayanya untuk bisa menerobos kaca dengan terbang lebih keras dan cepat?
Menurut saya, itu karena logika tersebutlah yang paling masuk akal bagi sang lalat. Logika cepat yang tidak dipikirkan ulang. Logika dan ide yang bisa membunuhnya pada akhirnya.
Kita bukan seekor lalat…
Beruntunglah, Anda dan saya bukan seekor lalat. Walau boleh dikata, kita pun sering bertindak seperti sang lalat: terus mencoba lebih keras — sekedar kerja, kerja dan kerja.
Di mata orang lain yang bijak, mencoba lebih keras tidak selalu menjanjikan harapan untuk meraih apa yang Anda mau dari karir atau bisnis. Seringkali malahan, mencoba lebih keras justru adalah masalah utamanya.
Dalam pengalaman saya sebagai seorang Business Coach, “semangat lalat” yang ngeyel itu tidak susah ditemukan. Tidak sedikit pebisnis yang membuang-buang waktu dan sumber dayanya memenuhi ambisinya, tapi tanpa meraup hasil apa pun yang berarti. Proyek-proyek mercu suar, seperti “harus punya pabrik”, “harus punya gedung sendiri”, “harus masuk ke proyek-proyek pemerintahan” adalah beberapa contoh yang sering saya lihat menyisakan pebisnis potensial kepada pebisnis yang jenuh – dan tidak jarang penuh hutang atau keluarga yang berantakan.
Sekarang bayangkan bila sang lalat memiliki seorang “lalat coach”…
Apakah ia bisa keluar ruangan dengan lebih efektif dibandingkan babak belur dan benjol-benjol sebesar bakpao seperti kata mantan pengacara salah seorang politikus kita yang ditangkap karena korupsi?
Jawabannya: BELUM TENTU.
Memiliki seorang Coach dalam bisnis atau karir Anda tidak menjamin sukses bisnis Anda. Ya, saya serius dengan jawaban saya, karena Anda perlu melakukan lebih dari sekedar memiliki Coach – Anda perlu benar-benar menggunakan jasanya dengan penuh tujuan.
Jadi bila Anda tengah bertanya-tanya: Apakah saya bisa dicoaching? Atau, apakah saya perlu mengikuti program Business Coaching? Artikel ini kiranya bisa memandu Anda.
Apakah saya bisa dicoaching?
Gambar di atas adalah salah satu jawaban paling praktis untuk pertanyaan: “Apakah saya bisa dicoaching?”
Tidak semua pengusaha bisa dicoaching. Beberapa penyebab awal adalah karakteristik yang tanpa disadari membuatnya terus menerus kalah dalam bisnis. Saya menyebutnya Below the Line mindset.
Seorang pengusaha yang lebih sering menanyakan “mengapa” hal ini terjadi daripada “bagaimana saya” bisa memimpin keluar dari masalah adalah sebuah mimpi buruk bagi seorang Business Coach. Fokus mereka bukanlah pada mencari solusi praktis, karena:
- Pengusaha dengan “semangat lalat” terus mencoba cara yang sama – lalu menyalahkan (blame) pihak lain karena ia tidak berhasil.
- Atau ia membuat alasan (excuse) mengapa belum bisa keluar dari ruangan karena terhalang kaca.
- Bisa juga ia malah menyangkal (denial) dengan logika yang menyesatkan.
Mari kita ingat, tiga kualitas lemah tersebut adalah mindset “Below the Line” — yang akan membuat Anda terus merasa menjadi korban keadaan.
[shareable cite=”Coach Danny”]Memiliki seorang Coach dalam bisnis atau karir Anda tidak menjamin sukses bisnis Anda. Ya, saya serius dengan jawaban saya, karena Anda perlu melakukan lebih dari sekedar memiliki Coach – Anda perlu benar-benar menggunakan jasanya dengan penuh tujuan.[/shareable]
Sementara itu, pengusaha yang bisa dicoaching memiliki kualitas “Above the Line”. Mindset juara, yang membuat Anda memiliki pengaruh besar dalam bisnis dan industri.
- Pengusaha yang bisa dicoaching mulai dengan kemampuan untuk merespon (response-ability) – artinya ia tidak sembunyi dari masalah dan malah introspeksi ke dalam bilamana ia turut berkontribusi terkait masalah tersebut.
- Pengusaha yang bisa dicoaching berani bertanggung jawab (accountability) – ia rela dan ikhlas untuk mengakui kesalahan dan melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyelesaikan masalahnya.
- Pengusaha yang bisa dicoaching memiliki mindset ownership – ia tahu bahwa mundur atau resign atau menyerah bukanlah sebuah pilihan sampai ia bisa menemukan bagaimana (how) menyelesaikan tantangan yang sedang dihadapi.
Tiga kualitas “Above the Line” ini adalah penanda bilamana Anda bisa berhasil saat dicoaching.
Mengapa mau dicoaching?
Salah seorang klien saya menjawab pertanyaan saya tentang mengapa ia terus mau dicoaching oleh saya: “karena saya orang paling tinggi di perusahaan, dan tidak ada orang yang berani memberitahu bila saya salah jalan atau pun mengingatkan saya tentang nilai-nilai penting”.
Sebuah sikap yang rendah hati dan menjadi kualitas mengapa ia bisa dicoaching dengan sangat efektif.
Jadi tidak semua orang bisa dicoaching.
Ada kalanya seorang Coach perlu membiarkan pengusaha calon kliennya babak belur terlebih dahulu. Saat rasa sakit karena babak belur itu bisa mengembalikan kesadaran, barulah orang tersebut siap untuk dicoaching.
Pertanyaan yang bisa kita renungkan adalah ini:
Mengapakah ada beberapa pengusaha bersedia babak belur seperti sang lalat?
Apakah saya bisa dicoaching? Hal-hal apa yang bisa saya sadari dan bertekad ubah?
Selamat siap dicoaching!
[callout]Catatan Khusus Artikel ini ditulis pada April 2020 di saat Indonesia mulai terkena pandemik global akibat Covid-19 dari China. Anda bisa jadi membaca artikel ini saat Covid-19 masih ada, atau bisa jadi saat wabah tersebut sudah usai. Akan tetapi, “pintu terbuka” juga ada bagi Anda beberapa meter ke samping. Anda hanya perlu berhenti ngeyel dari cara yang lama – dan mencoba cara baru dan merangkul the new normal. Lebih lanjut, Anda bisa menonton Youtube playlist Leading in Crisis di bit.ly/mscope19.[/callout]